Ikon yang (Tak) Terdokumentasikan
Masjid Kampus Tampak Dari Parkiran |
Iseng-iseng aku buka facebook, ada sebuah tautan dari
temanku. Dia bercerita bertemu Iyem di masjid kampus (Maskam) UGM. Kata dia
sosok Iyem kosakatanya tidak bertambah. Hal itu membuatku kembali memutar
gulungan memori tentang jogja. Kebetulan, teman di jogja juga menawarkan diri
sebagai guide menemani menyusuri pantai-pantai yang masih perawan di daerah
Gunung Kidul. Namanya mba Wiwin, dia alumnus UNY . Dia itu temannya teman
kosku. Karena dia sering main ke kosku, jadilah kita akrab.
Dia menggebu-gebu mempromosikan pantainya dan bahkan
mempromosikan rumahnya untuk menginap.heheh. Tetapi aku masih belum memberi
jawaban. Banyak kisah yang ditorehkan dari sebuah kota kecil bernama Jogja. Ada
suka dan duka. Ada perjuangan memperoleh gelar Sarjana dan Master di kota itu.
Seolah mengiringi perjalanan hidupku dari saat aku terpuruk karena menjadi
yatim piatu, mengkais rezeki agar bisa tetap kuliah dan agar tak drop up,
sampai aku bingung karena tak punya uang sama sekali.
Tetapi hal yang baru akhir-akhir ini aku sadari adalah ikon
yang tak terdokumentasikan tentang orang-orang di UGM. Barangkali mereka lebih
eksis daripada ketua senat, rektor atau selebritis di Kampus. Mereka bukan
mahasiswa tetapi begitu dekat dengan mahasiswa. Bahkan ketika bertemu dengan alumnus
UGM yang belum kenal, ketika menyebut ikon itu maka akan timbul komentar yang
panjang dan mampu mencairkan suasana.
Ikon yang tak terdokumentasikan adalah Iyem, Mas Maulana
dan Yu Par. Jika ada 10 alumnus diminta mendeskripsikan ketiga orang ini maka
akan ada 30 pendapat yang berbeda. Berikut deskripsi terhadap ketiga orang ini
menurutku.
1)
Iyem
Kalau disebut tukang palak, ah barang kali terlalu lebay.
Kalau disebut peminta rasanya tidak tepat karena dia meminta dengan paksa. Kosakata
yang selalu digunakan adalah “mbak,mbak njaluk duite mbak”. Kalau tidak diberi
dia akan mengeluarkan pisuhan/makian sepanjang jalan atau akan
merobek/membanting, mencubit kita. Oleh karena itu, jika aku sendirian dan
bertemu dia, aku lebih memilih jurus kabur. Apalagi kalau tak punya uang receh
yang akan diberikan. Jika ada teman baru aku berlindung pada temanku.
Pernah suatu kali aku menanyakan tentang asal dia, kata
teman-teman kasihan dia. Dia penderita keterbelakangan mental dan tidak terlalu
diurusi oleh keluarganya. Rumahnya Sendowo, tak jauh dari Bulaksumur. Pakaiannya
bersih memakai bando. Daerah operasi dia dari fakultas ke fakultas. Tak heran
dia begitu eksis di kampus. Pisuhan/makian yang terlontar dari bibirnya seakan
hanya angin lalu bagi kalangan mahasiswa. Tak kan ada yang tersulut emosinya.
Dari awal aku masuk UGM sampai sekarang si Iyem tetap konsisten dengan
perilakunya.hehehe
2)
Mas Maulana
Buat kalangan seperti aku atau buat kalangan aktivis dakwah
kampus, nama ini begitu familiar. Apakah dia marbot masjid, sepertinya bukan,
pengurus bukan. Tetapi dia gemar sekali
wara wiri di masjid Shalahudin/ masjid kampus UGM. Pernah suatu kali aku
tanyakan pada anak JS (Jamaah Shalahudin) kata mereka mas Maulana bukan anggota
JS juga. Dulu dia mahasiswa tetapi aku tak tahu pasti dia lulus atau belum.
Bahkan statusnya sudah menikah atau belum juga aku tak tahu, tetapi sepertinya
belum. Penampilannya selalu memakai baju koko, berjenggot dan memakai
kacamata. Hampir sama dengan Iyem,
kosakatanya pun tak banyak, yaitu “mbak, dah sholat belum?”.Atau kalau ke cowo
ya “mas, dah sholat belum?”. Kalau kita
terlihat berkelompok akan ditanya “Acara apa ini mbak?”. Awalnya aku tak
terlalu ngeh dengan Mas Maulana, sampai suatu saat temanku dari Teknik
mengungkapkan “Dah sholat belum?” dengan nada mas Maulana. Dan ternyata flip
flop dia pun mengenal mas Maulana.
Buat teman-teman yang punya pacar dan ingin sholat di
Maskam, kusarankan hati-hati ketemu mas Maulana. Teman-teman akan ditanya-tanya
muhrimnya bukan?mana KTPnya?jika bukan muhrim akan diceramahin seapanjang mas
Maulana inginkan. Aku pernah melihat kejadian ini secara langsung, di pelataran
masjid. Ada sepasang anak berseragam SMA, mereka tidak melakukan hal aneh hanya
duduk saja. Kemudian didatangi oleh mas maulana dan show time seperti yang
kuduga. Sepasang muda-mudi itu diceramahi panjang kali lebar kali tinggi.
3)
Yu Par
Yu Par adalah sosok yang jasanya tiada tara karena membuat
perut kenyang tanpa jebol. Dia terkenal di kalangan anak-anak sosial humaniora
(FIB, Psikologi, Ekonomi, Fisipol, Teknologi pertanian dan sekitarnya).
Yu Par adalah penjual nasi di Bonbin sastra sekarang berubah jadi Humaniora foodcourt apanya...aku lupa. Terkenalnya dulu Bonbin.
Bonbin pun juga ga tahu pasti
singkatan dari apa, ada yang bilang kebun binatang, karena dulu yang makan di
situ biasanya “anak belakang” (sebutan bagi anak sastra yang anti kemapanan dan
suka tinggal di kampus). Kata orang awalnya dulu bonbin kondisinya sangat
sederhana. Lantai bawah masih tanah.
Inilah Yu Par |
Yu Par adalah penjual nasi di Bonbin sastra sekarang berubah jadi Humaniora foodcourt apanya...aku lupa. Terkenalnya dulu Bonbin.
Bonbin Sastra UGM |
Ada juga yang bilang kepanjangan dari kebun bintang karena
tempat anak-anak sastro moeni kumpul. Sastro moeni adalah band kampus. Whatever,
yang jelas, aku sering makan di sana. Tata cara makan disitu adalah pesan
makanan ke Yu Par dan menunggu Yu Par menaruhnya ke dalam piring. Kemudian,
kita bawa piring ke tempat yang ada disitu dan bebas lalu pesan minuman ke
mas-mas di samping Yu Par. Dibanding harga warung lain, harga di warung Yu Par
cocok untuk kalangan mahasiswa beruang cekak seperti aku. Meskipun hanya ada
tiga jenis sayur yaitu sayur kacang, sayur mie dan sayur tahu tetapi cukuplah
mengobati kelaparan. Bahkan karena asyik ngobrol aku beberapa kali lupa bayar
dan nyelonong pergi dari warung Yu Par. Baru hari kemudian, setelah ingat aku
membayarnya. Dan Yu Par dengan santai biasa aja.
Memang mudah saja jika mahasiswa berniat jahat untuk makan
tak bayar, karena banyaknya pengunjung tentu tidak mudah mengawasi orang yang
berjubel. Tetapi begitulah Jogja, kantin kejujuran, WC kejujuran nyatanya tetap
berjalan. Di sana masih banyak orang-orang jujur yang mungkin di Jakarta ini
jarang ditemui. Di daerah Tamansari ada WC kejujuran, kita masuk, di luar ada
tempat taruh uang dan terbuka. Nyatanya ada banyak uang di tempat itu dan jika
ada yang jahat mau ambilpun tidak ada yang mengawasi.
Itulah tiga ikon yang tak terdokumentasikan dalam sejarah
UGM. Buatku orang-orang itu membawa kenangan tersendiri. Jika kamu ngaku anak
UGM kenalkah dengan tiga orang ini? Jika tidak, kamu masih diragukan atau kamu
tidak gaul di kampus.heheheh
Salam sastra budaya!
Masjid Kampus Tampak Depan |
Alumni FIB UGM yo?
BalasHapusSalam sastra!
iya..Paundra alumnus tahun berapa?
BalasHapussalam sastra juga..