Surga Bukan Di Bawah Telapak Kaki Ibu Rumah Tangga, Ibu Pekerja, Maupun Ibu Pengusaha Tetapi Semua Ibu
Ketika sudah menikah, kemudian dihadapkan kondisi
untuk mengikuti arisan atau sekadar kumpul dengan teman atau kolega yang
senasib atau sudah menikah. Permasalahan muncul ketika mereka sudah punya anak.
Sebenarnya bukan permasalahan menurutku, tetapi masing-masing keluarga berusaha
menyiasati. Dalam hal ini, aku berusaha mengamati dan memahami logika mereka
berpikir, secara aku belum punya anak heheheh.
“Alhamdulillah ya, sesuatu banget. Gajian lagi hari ini. Bisa beli ini-itu
tanpa nyodorin tangan ke suami. Nikmatnya menjadi wanita mandiri.” Begitulah kira-kira
para ibu muda yang bekerja sendiri berbicara.
Kubu sebelah siap membalas, “Alhamdulillah ya,
badan encok karena sibuk BBM an. Kerja gratisnya tidak sia-sia, lho. Insya
Allah surga balasannya. Super sesuatu.” BBM = beberes, benah-benah, memasak.”
Begitulah para ibu
rumah tangga yang tak kalah berceloteh. Dan kemudian kancah pertarungan
diramaikan oleh pendatang baru: Working at Home Mom alias ibu pengusaha. Biasanya
di Jumat sore, saat macet menaklukkkan ibukota apalagi jika dibombardir dengan
hujan, kubu yang ini siap berkicau;
“Aduh, hujan nih. Berkah namanya. Alhamdulillah ya, di rumah-rumah saja
dari tadi. Bebas dari lebatnya hujan. Tapi kantong tetap basah, gak ikut-ikutan
kering. Main sama anak sekaligus dapat penghasilan sendiri. Sesuatu banget.”
Yang satu
mengatasnamakan kemandirian. Ada yang merasa berhak atas surga. Dan ada yang merasa
sebagai pemenang sejati, mandiri plus kebersamaan bersama keluarga. Nada saling
menjatuhkan juga ssering kudengar
“Ah, dia tidak
mengurus anak. Seharian saja di kantor. Anak dikasih ke pembantu.” Cibiran buat
Ibu pekerja kantoran. Tapi, sepanjang hari di kantor, statusnya sebagai
Ibu tidak dilepas begitu saja. Subuh-subuh sudah harus bangun mempersiapkan
makanan si kecil. Pagi – siang – sore menelepon ke rumah mengecek si kecil di
sela-sela kesibukan kantor.
Jangan
mencibirnya. Belajar saja akan ketangguhannya membagi waktu. Kekuatan hati yang
tanpa batas untuk senantiasa membagi pikiran antara pekerjaan di kantor vs
pekerjaan di rumah.
“Ih, kok mau yaaaa, sekolah tinggi-tinggi kok lha ya BBM-an doang di
rumah.” Definisi BBM nya diatas, masih ingat kan?
Sepanjang hari
di rumah bersama anak tidak hanya menggunakan kekuatan fisik saja, batin juga
mesti kuat ya. Jangan bertanya-tanya, ambil saja hikmah kesabaran seluas
samudera yang dimiliki mereka, yang memilih jalan ini.
“Ih, paling keren gue dong. Bisa sepanjang hari di rumah. Uang mengalir
terus. Dekat sama anak sekaligus mandiri secara keuangan.” Mau, mau, mau!
Pada umumnya
yang model seperti ini ikut bisnis MLM. Wah, berkarier di dunia MLM ini beda
lagi lho tantangannya. Atau untuk yang berbisnis lain di rumah, pasti repot
membagi pikiran sekaligus tenaga jadi dua di saat yang sama. Kita bisa melihat
dan mencontoh persistensi mereka yang tak ada habis-habisnya.
Buatku pribadi,
hal ini bukan untuk memenangkan satu sama lain atau bahkan merendahkan satu
sama lain. Menurutku, ketiga pilihan itu (pekerja, ibu rumah tangga, pengusaha)
adalah baik. Mereka luar biasa, yang terpenting menurutku adalah keinkhlasan
untuk mendidik anak sehingga bisa mengantarkan anak-anak ke gerbang
kesuksesan.
Kebetulan aku
dilahirkan oleh ibu pekerja, dan selama ini aku tidak pernah melihat ibu
mengorbankan keluarganya demi karier. Ketika ibu ada penataran di luar kota,
sering yang menyiapkan makanan bukan ibu, kadang peran itu dipegang ayah, dan
kami tak pernah lupa dengan panggilan untuk orang yang melahirkanku, “mama”. Kami,
anak-anaknya pun tak kalah prestasinya dengan ibu rumah tangga maupun ibu
pengusaha. Kami tidak pernah minta ibu selalu ada di rumah, menurutku, dia
sudah jadi ibu terbaik yang kumiliki, sholehah, pandai, dan mandiri.
Dulu sewaktu
kami kecil ada terbesit rasa iri ketika melihat ibu teman kami bisa selalu di
rumah, tetapi belakangan ketika tahu ternyata Beliau tak selembut ibu kami.
Kami merasa beruntung punya ibu seperti ibuku.
Ternyata
keberhasilan seorang anak tidak bergantung pada ibu perkerja, ibu rumah tangga,
maupun ibu pengusaha. Tak jarang anak ibu pekerja tidak terasuh dengan baik dan
malah terlantar. Ada pula, anak ibu rumah tangga yang sukses, aku melihat
budheku, menantu mbahku yang pertama, Beliau ibu rumah tangga yang punya tiga
anak dan ketiga anaknya sukses sebagai dokter, insinyur, dan pengacara.
Ada juga anak
yang sukses terlahir dari ibu pengusaha, bisa meneruskan usaha kelaurga menjadi
lebih berkembang. Namun, tak jarang yang malah menghabiskan harta orang tua
tanpa bisa meneruskan usaha keluarga dan akhirnya bangkrut.
Semua adalah pilihan terbaik yang paling cocok untuk saya. Belum tentu
buat orang lain. Jadi, intinya bukan di seberapa banyak waktu yang diluangkan
untuk keluarga. Apa artinya bila pilihan itu tak bermakna dan malah menjadi
bumerang? Relakah meletakkan karier demi anak tapi sepanjang hari meratapi
pilihan itu?
Apa sanggup setiap
hari menghabiskan waktu di belakang meja, tapi tak kunjung rela bila
membayangkan anak harus berada di tangan orang lain?
“Sebesar apa pun
keinginan untuk membahagiakan anak dan keluarga, jangan pernah mengabaikan
kebahagiaan diri sendiri.”
Tentu ada adjustment yang harus dilakukan. Tidak 100%
kerelaan langsung berlabuh dalam hati.
Apa yang coba
ditawarkan kepada mereka, jika kita sendiri telah merasa kebahagiaan kita telah
tercabut dari akarnya? Ingat petunjuk keselamatan dalam pesawat untuk
pertolongan pertama saat sirine tanda bahaya berbunyi, “Selamatkan diri Anda
terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain.”Semua pasti ada
pengorbanannya.
“Surga dibawah telapak kaki Ibu.” Bukan di
bawah telapak kaki Ibu Rumah Tangga, Ibu Pekerja Kantoran, atau Ibu Pengusaha.
Tapi di telapak kaki (semua) Ibu.
*Teruntuk: Mama di surga,
aku bangga mempunyai mama sepertimu.
Komentar
Posting Komentar