Celoteh Sandra
Ini bukan cerita mengenai
muridku. Ini sebuah kisah tentang seorang gadis kecil bernama Sandra. Baru
kutahu namanya, Sandra, setelah beberapa bertemu, sekitar 2 tahun. Barulah aku
menanyakan namanya. Itu seperti kebanyakan orang Indonesia, sudah bertanya atau
mengobrol banyak baru menanyakan nama.
Pertemuanku bersama Sandra
adalah pertemuan yang tidak sengaja apalagi diatur. Itulah skenario Allah.
Pertemuanku dengannya berawal dari waktu
yang sama. Aku tiap hampir dua bulan sekali berbelanja kebutuhan bulanan di
salah satu swalayan. Aku pergi ke swalayan itu biasanya sepulang kerja. Aku
berbelanja secukupnya dan pulang dengan segera. Aku tipe orang yang tidak
terlalu berminat untuk melihat-lihat terlebih dahulu jadi aku biasanya langsung
kepada tujuan yang akan dibeli.
Aku berangkat dan pulang menuju
menggunakan angkot. Ketika perjalaan
pulang dari swalayan, di dalam angkot sudah ada anak SD yang kemudian dia turun
di gang, tempat aku turun juga. Seperti beberapa kesempatan bertemu, dia (anak
kecil itu) selalu menawari untuk membantu mengangkut belanjaanku yang super
banyak, maklumlah kebutuhan beberapa bulan aku beli dalam sekali belanja.
Dari perjalanan ujung gang
ke rumahlah akan hampa jika tanpa pembicaraan. Kali ini aku manfaatkan untuk
mengobrol dengannya. Dia anak yang baik, ramah dan mudah akrab termasuk kepada
orang asing termasuk aku. Aku kemudian jadi tahu namanya. Dia anak kelas 6 SD
yang sedang sibuk-sibuknya mengerjakan berbagai persiapan demi kelulusan.
Di sekolahnya terkesan
murid dijejali dengan tambahan pelajaran, les-les, dan pendalaman materi.
Sekolah sangat ketakutan siswa-siswanya tidak lulus. Orang tua siswa juga
menekankan anak-anaknya agar lulus dengan prestasi gemilang. Di sisi lain, aku
melihat kasihan terhadap anak-anak, nyaris mereka tidak mempunyai hak untuk
bermain. Bisa kulihat contohnya di mata Sandra. Dia bisa sangat antusias dan
ceria bercerita tentang studinya. Di
balik itu aku tetap bisa melihat begitu banyak tekanan yang dia temui. Buku
besar-besar yang harus dia bawa ke sekolah, tas rangsel besar yang mesti dia
jinjing tiap hari. Pulang terlambat rasanya sudah biasa untuknya. Emh….dahulu
pun aku pernah mengalami fase itu. Bangun masih pagi buta untuk belajar, dan
tidur larut untuk belajar pula. Hasil yang kuperoleh memanglah sepadan. Namun,
di kala libur aku masih bebas bermain, menaiki kerbau, menikmati hamparan sawah
yang luas, berkejar-kejaran dengan riang. Sementara Sandra, hari liburpun orang
tuanya masih mewajibkan dia belajar.
Kupikir masih banyak orang
tua yang seperti orang tua Sandra, begitu ketakutan anaknya bersekolah di
swasta atau sekolah yang kurang favorit hingga hari libur pun mereka mewajibkan
anak-anak mereka untuk belajar. Masa anak-anak hanya ada sekali dan masa
anak-anak adalah masa bermain. Mereka harus kehilangan masa itu untuk belajar
dan belajar. Kita tidak bisa memungkiri bahwa hal itu adalah tuntutan zaman,
tapi seyogyanya orang tua lebih bijak mengatur waktu bermain juga untuk anak.
Jika anak tidak mempunyai waktu bermain dikhawatirkan ketika dewasa masih
banyak orang yang bermain-main dengan hidupnya. Bermain dengan hartanya, dengan kekuasaannya,
dengan wanita atau lawan jenis dan bermain dengan kata-katanya. Padahal sebagai
seorang yang telah dewasa haruslah bisa menjadi panutan bagi sesama. Semoga
kita termasuk orang-orang yang telah puas bermain dan tidak kehilangan masa
bermain kala masih kanak-kanak. Semoga kita bisa menjadi orang tau yang lebih
bijak terhadap anak-anak kita.
Januari 2013
Komentar
Posting Komentar