Ayah, yang Membimbingku Dengan Tak Pernah Lelah (1)
Namaku
sangatlah Jawa yang artinya kebaikan. Itu doa orang tuaku agar aku bisa membawa
kebaikan. Aku lahir 7 Mei 1957. Aku anak terakhir dari istri ke empat, istri
terakhir. Ayahku bernama H.Muhammad Ishak yang bekerja sebagai carik. Ibuku
bernama Hj Siti Maryam seorang pedagang. Ibuku merupakan istri keempat dan dinikahi
ayah dengan kondisi gadis seperti istri pertama. Sedangkan istri kedua dan
ketiga dinikahi dengan kondisi janda beranak. Istri pertama meninggal ketika
melahirkan. Kemudian ayah menikah dengan Janda beranak. Dengan Istri kedua,
ayah tidak mendapatkan anak karena memang sudah tua. Istri kedua sakit keras,
sementara ayah harus mengurus anak dari istri pertama dan bawaan dari istri
kedua. Istri kedua menyarankan ayah untuk menikah kembali. Ayah menikah kembali
dengan Janda beranak. Isteri ketiga ini merupakan janda yang miskin, suaminya
meninggal ketika perang penjajahan Jepang. Istri kedua ayah merasa iba dan
menyuruh ayah untuk menikahinya. Tak lama kemudian istri kedua ayah meninggal.
Aku |
Ketika
zaman Jepang, banyak penyakit mewabah. Istri ketiga ayah meninggal karena
terkena penyakit influenza. Pada zaman itu penyakit influenza merupakan
penyakit yang mematikan. Ketika istri ketiga dan ayah menikah tidak
menghasilkan anak. Ayah sangat kerepotan mengurus anak dari istri pertamanya
dan harus mengurus anak peninggalan dari isteri kedua dan ketiga. Berdasarkan
saran dari anak-anak, mereka sepakat agar ayah menikah lagi. Ayah menikah
dengan ibuku dan dikaruniai anak tiga laki-laki semua, dan aku anak terakhir.
Aku kagum
pada ayah dan ibuku. Mereka merawat anak-anak tanpa membedakan, kandung atau
bukan. Ayah membagi lahan pertanian untuk diolah kepada semua anaknya baik
kandung atau bukan. Ibu juga menyayangi anak-anak ayah dari pernikahan
sebelumnya. Anak-anak dari istri pertama, kedua serta ketiga juga sayang kepada
ibu dan ayah serta sayang padaku dan menganggapku seperti adik kandungnya
sendiri. Ayah dan ibu menanamkan pelajaran bahwa yang lebih tua harus dihormati
dan yang lebih muda harus disayangi, dilindungi, dibimbing. Ayah punya
manajemen sendiri untuk mengatur lahan pertanian, begitu juga ibu juga punya
cara untuk mengatur sistem berdagang. Seluruh keluarga sudah mempunyai tanggung
jawab masing-masing dan tidak pernah terlihat ada perebutan. Ayah juga
demokratis, di akhir pekan ayah mengumpulkan seluruh anggota keluarga untuk
berembug, piknik atau membahas kesulitan rumah tangga.
Kata
kakak-kakak iparku, ibuku merupakan mertua yang baik. Pada umumnya mertua pada
zaman itu akan tidak memilih atau menerima jika mempunyai menantu tidak bisa
memasak. Ibuku tidak menuntut itu. Menurut ibuku, bagus atau nilai plus jika
istri bisa memasak, tetapi yang terpenting adalah bisa mengurus suami dan
anak-anak. Ibu juga mau mengajarkan dengan sabar menantunya. Pesan ibu yang
sering disampaikan adalah” mempelajari sesuatu yang tak terlihat aja bisa,
apalagi ini sesuatu yang bisa dilihat dan diraba, memasak pasti semua orang
bisa, bisa karena terbiasa”. Ibu juga mendukung apapun masakan menantunya,
tidak pernah mencela dan lebih suka memberi saran, itupun jika diminta. Jika
tidak diminta, ibu lebih suka diam.
Tak
berapa lama setelah aku disunat, ayah dan ibu memutuskan untuk melakukan hal
yang luar biasa. Ini kali keempat, ayah pergi haji. Ayah selalu mendampingi
istri-istrinya haji. Ayah pun ingin memperlakukan ibuku layaknya istri-istri
sebelumnya, menemani haji. Padahal kondisi ayah sudah tak sekuat dulu, kini
ayah telah tua. Haji kali ini, ayah memutuskan untuk membagi warisan kepada
seluruh anaknya. Ayah takut tidak bisa kembali dari tanah suci dan takut
anak-anaknya akan rebutan warisan jika tidak ada ayah. Keputusan besar di masa
itu. Ayah melawan kebiasaan umum di daerah kami. Pembagian warisan ketika orang
masih hidup dianggap pamali, tidak elok. Tetapi ayah berani mengambil keputusan
itu. Ayah menitipkanku, anak paling kecil pada kakakku dari istri pertama,
kakak A. Ayah mewasiatkan agar aku mau menghormati kakak A. Ayah menasihatkan
agar kami anak-anaknya harus rukun, saling menyayangi, membantu dan berbagi.
Ayah juga menasihati kakak A agar mau merawatku. Aku anak yang paling kecil.
Dan pada usia itu aku dipaksa untuk dewasa, seperti kehilangan ayah dan ibu
selama berbulan-bulan, tidak jelas keberadaannya,serta tidak ada kabar.
Ayah dan
ibu menunaikan ibadah haji dari Semarang dengan perahu. Beberapa kakak
mengantarkan ayah dan ibu dengan truk ke Semarang. Setelah itu, kami sekeluarga
menunggu dengan pasrah. Sampai ada berita tentang tragedi Mina mengabarkan
bahwa ada korban dari Indonesia dan bernama Siti Maryam. Seperti petir di siang
hari, haruskah kami kehilangan seorang ibu lagi. Begitulah yang kami rasakan.
Kami
mengadakan rapat dan sepakat untuk mencari kebenaran berita itu. Kami mengutus
tiga orang kakak untuk mencari informasi. Ternyata benar korban yang meninggal
itu bernama Siti Maryam tetapi bukan ibuku tetapi Kabupaten Kbumn tetapi dari
kecamatan lain. Kami yang di rumah berdoa, sholat jamaah tak pernah putus,
mendoakan ayah dan ibu. Kami sekeluarga makin kompak dan solid.
Alhamdulillah
setelah sholat subhuh, sesuatu yang menggembirakan tiba. Ayah dan ibu datang ke
rumah dengan kondisi sehat walafiat.Subhanalloh. Setelah aku baligh, ayah dan
ibu memutuskan agar aku ikut kakak A dan istrinya di luar desa. Jarak yang agak
jauh dengan kakak A, membuat aku lebih cocok sebagai anak pertamanya daripada
adiknya. Orang-orang di desa tempat tinggalku pun punya anggapan bahwa aku anak
pertama kakak A, kecuali orang-orang yang sudah dekat.
Beberapa
kemudian, ayahku jatuh sakit akibat penyakit tua. Ayah meninggal dan ibu
berpesan agar aku tetap tinggal dengan kakak A. Berkat doa dan usaha akhirnya,
aku berhasil lulus dan mendapatkan pekerjaan di BUMN.
Kulitku
yang kuning mendukung mukaku terlihat tampan. Aku berhasil mendapatkan nasabah
sesuai target. Aku juga berhasil membantu pengusaha kecil mendapatkan pinjaman
modal. Hal itu pula yang memperkenalkanku dengan gadis bernama B. Ayahnya
kebetulan nasabahku dan kita sudah akrab. Ayahnya menyuruhku datang ke rumah
dan berkenalan dengan putrinya. Ayahnya mempunyai usaha furniture dari jati di
Guyangan. Aku pernah mendapat diskon ketika membeli furniture padanya. Setelah
mengenal lebih jauh, aku merasa tidak ada kecocokan diantara kita. Dia bukan
tipeku.
Kata
ibuku, aku tidak perlu bersedih. Hanya aku satu-satunya anaknya yang belum
menikah.Ibu memberikan nasihat agar aku lebih mendekatkan diri padaNya. Puasa
sunat minimal Senin Kamis karena ada nasihat Rasulullah jika ingin menikah
tetapi belum bisa maka berpuasalah. Ibu juga memberi nasihat agar aku melakukan
hal yang bisa dilakukan. Jika belum memperoleh pasangan, kerjakan dulu yang
bisa. Aku memutuskan untuk mengumpulkan uang dan mengisi soreku dengan membuat
batu bata untuk membangun rumah. Aku hampir tidak memikirkan pasangan lagi,
meskipun aku tetap berdoa dan puasa senin kamis. Alhamdulillah rumah berhasil
kubangun, meskipun masih beralas semen bukan tegel/keramik dan atap yang belum
diplafon. Tapi cukuplah untuk berteduh dan layak huni. Aku mendapat pujian dari
kakak-kakakku. Dulu biasanya mereka menikah dulu baru punya rumah, sekarang aku
berbeda. Punya rumah dulu sebelum menikah. Ya, kata kakakku, rumah adalah
urusan laki-laki. Jadi memberikan rumah pada istri adalah kewajiban laki-laki.
Aku berhasil
berkenalan dengan seorang gadis desa tempat aku dan kakakku tinggal, dia
bernama T. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia cantik, putih, baik dan
keibuan. Sosok yang belum pernah kutemukan pada wanita-wanita sebelumnya.
Belakangan, aku hanya menyimpan rasa itu di hati, karena dia telah dekat dengan
orang lain. Meskipun begitu, aku meniatkan tetap berhubungan sebagai sahabat
sambil terus mengenal lebih jauh.
T |
Kakak
iparku menyukai hal yang sama dengan T. Mereka menyukai gamelan Jawa
(klenengan). Mereka latihan biasanya setelah isya. Kakakku sering menyuruh aku
menjemput kakak ipar. Kakak ipar sering pulang dengan T. Dari sinilah kadang
kakak iparku menyuruhku mengantarkan T pulang. Itu pula yang membuatku lama
kelamaan akrab.
Dari cerita
kakak iparku, hubungan T dan laki-laki lain sedang menjauh. Bagai pucuk dicinta
ulam pun tiba. Peluang itu datang. Memang jodoh tak kemana, pikirku.Hubunganku
dengan T makin akrab dan aku mengutarakan niatku untuk melamarnya. Ada beberapa
hal yang masih menganjal pikirannya, dia punya banyak adik yang masih kuliah
dan butuh biaya, dia minta izin agar tetap bekerja agar bisa membantu membiayai
adik-adiknya kuliah. Tentu saja aku setuju. Niat itu baik dan harus didukung.
Aku bahkan akan bersama membantu biaya adik-adiknya.
Dia anak
keempat dari 10 bersaudara. Kami punya kesamaan yaitu sama-sama keluarga besar.
Kami saling melengkapi, aku sebagai anak bungsu, dia sebagai anak agak awal
yang punya adik. Sehingga aku yang tak punya adik beruntung punya adik darinya.
Dia wanita yang sayang terhadap keluarganya. Dia perhatian. Dugaanku ketika
menikah, tentu dia akan sayang pula terhadap keluarga dan anak-anak.
Setelah
minta berunding dan minta izin ibu, akhirnya kami sekeluarga datang ke rumah T
untuk melamar. Keluarga T ternyata keluarga yang masih memegang tradisi Jawa,
sementara keluarga tidak terlalu memperdulikan hal itu. Acara lamaran itu
dihadiri tetua desa dan harus dihitung. Tetua desa mengisyaratkan bahwa
pernikahan ini akan berdampak tidak baik. Sebagai seorang muslim, kami tidak
terlalu percaya lebih pada menghormati saja. Hidup, mati, jodoh sudah ada yang
lebih berhak mengatur, kita sebagai makhluk menjalani dan berusaha agar tetap
hidup dan mencari jodoh kita. Begitulah, pola pikirku.
Tetua
desa menyarankan agar menanggap tontonan ketika akan menikah di rumah pihak
laki-laki. Kami pun menyanggupi. Aku menanggap ketoprak di rumahku, rumah kelak
kami berdua. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Kami hidup berbahagia. Kami
bantu-membantu menata rumah, melakukan pekerjaan rumah, hingga memasak bersama
merupakan hal romantis buatku. Kami benar-benar menikmati pacaran sesudah
menikah. Kami saling melengkapi kekurangan masing-masing dan saling menghargai
hal kecil apapun yang dilakukan pasangan. Tiap pagi ketika aku hendak bekerja,
aku selalu mengucapkan “aku cinta padamu”. Ketika hendak tidur, dia juga
mengucapkan “terima kasih mas, aku mencintaimu”. Aku belajar mengucapkan terima
kasih atas apapun yang diberikan pasangan. Hal kecil tapi menurutku punya
pengaruh luar biasa. Aku merasa dihargai sebagai seorang laki-laki. Apapun
masakan istriku juga selalu kumakan. Aku tidak pernah berkomentar jika tidak
diminta. Aku juga selalu memuji jika masakan enak. Aku tahu, dia sesungguhnya
tak terlalu suka memasak. Tetapi karena rasa cintanya yang besar padaku, dia
berusaha untuk belajar. Itu yang membuatku makin terpesona dan sayang padanya.
Apalagi, sebagai seorang guru yang harus berangkat pagi hari, dia selalu
menyempatkan diri untuk membuat sarapan. Tentu hal ini patut diacungi jempol.
T yang kunikahi |
Tak
berapa lama, kebahagiakan kami pun sangat sempurna. Kami dianugerahi anak
perempuan yang cantik, kuning seperti kulitku, mata yang bulat sepertiku, dan
tubuh panjang seperti istriku. Dia kuberi nama G yang artinya anak pertama yang
cantik dan membawa hidayah untuk keluarga kecil kami. Aku sayang sekali pada G.
Kebutuhannya selalu kucukupi. Aku memanfaatkan sawah untuk menambah
penghasilan. Jika akhir bulan yaitu tiap tanggal 25 aku gajian, di awal bulan
istriku yang PNS gajian, maka di tengah bulan masih ada pos dari hasil sawah.
Alhamdulillah, keluarga kami selalu tercukupi kebutuhannya. Bahkan kami masih
bisa mengirim uang untuk adik-adik di perantauan.
Tak
berapa lama setelah istriku berhenti memberikan ASI ekslusif pada putri kami.
Dia hamil. Kehamilan kedua ini, kami memutuskan untuk memanfaatkan jasa dokter.
Pada saat putri kami yang pertama, kami belum menemukan dokter sehingga
persalinan dibantu oleh bidan. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk
anak-anak kami.
Saat
kehamilan kedua, istriku tak mengalami banyak keluhan, makan enak, kerja enak,
tidak rewel dan masih bisa disambi mengajar di luar jam sekolah. Anak kedua
kami pun lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan. Dia lebih mirip
istriku. Dia kuberi nama H yang artinya pandai dan ada di bumi. Kebetulan saat
itu ada berita bahwa astronot wanita Indonesia Pratiwi Sudarmono, akan pergi ke
bulan. Saat itulah, kami terinspirasi nama Pratiwi. Kelak dia bisa menjadi
wanita yang pandai dan pemberani.
Ketika H
berumur 1 tahun, istriku sakit terkena tifus. Dia kubawa ke DKT Gbng.
Kondisinya semakin melemah dan rumah sakit merujuk ke Sarjito.Nyawa istriku tak
tertolong dan meninggal 1 Juli 1987 di usia 28 tahun. Dia meninggalkanku dan
dua akan putrid berusia 4 tahun dan 1 tahun. Aku mencoba ikhlas meskipun ini
hal yang berat yang pernah kujalani. Anak masih kecil-kecil. Semua kupasrahkan
padanya.
Atas
pesan yang disampaikan istriku pada kakak iparku agar kakak iparku merawat H,
maka dengan berat hati aku titipkan putri kecilku pada kakakku. Setiap hari aku
selalu bisa melihatnya, dan memeluknya.Mereka merawat H seperti anak bungsunya. Mereka merawat dengan
penuh kasih sayang. H tidak sekuat G. Dia mudah sakit mungkin karena dia tidak
mendapat ASI sebanyak H. Sementara G kutitipkan ke mertuaku. Meskipun kedua
anakku tidak kurawat dengan tanganku, mereka selalu diberi pemahaman bahwa aku
ayahnya dan ibu mereka telah meninggal. Aku ingin mereka mengenal asal-usul
mereka dan menerima kenyataan yang sesungguhnya. Meskipun aku tahu hal ini
tidak mudah dicerna oleh putri-putriku.
to be continue
Komentar
Posting Komentar