Berasa Menikah di Semester Empat
Setelah menikah maka orang akan memutuskan dimana mereka tinggal. Keputusan ini sudah jauh-jauh kami pikirkan, jauh sebelum menikah. Kami memutuskan untuk tinggal di sebuah kontrakan mungil di belakang kantor. Kontrakan yang memang dari awal kuhuni. Ada om yang menyarankan agar mencari kontrakan lain yang lebih besar. Tapi untuk saat ini hal tersebut belum memungkinkan. Kami baru saja masuk dan tentu pekerjaan telah menunggu. Tumpukan baju kotor dari pulang kampung juga belum beres. Selain itu, ada baju kotor kita dari Bali yang belum tertangani. Tumpukan kado dari sahabat dan saudara kita belum rapi dan tak tahu ditempatkan dimana karena banyak. Alhamdulillah, hingga saat ini rezeki senantiasa tercurah.
Kami juga
belum mempunyai gas. Kalau kompor malah ada 2 kompor kecil dan 1 kompor besar
dan semuanya kado. Sebetulnya aku punya kompor listrik tetapi kadang panasnya
kurang stabil dan kalau pemakaian listrik berlimpah, daya rumah kami tidak bisa
dan turun.
Alhasil kami
lebih sering membeli daripada memasak. Sebetulnya ada rasa kurang puas ketika
membeli, apalagi setelah mempunyai suami, inginnya memasak untuknya. Tetapi apa
mau dikata fasilitas belum mendukung. Suami juga tidak menuntut macam-macam.
Ketika pembagian pekerjaan, suami malah menawarkan diri untuk mencuci baju.
Karena dia takut juga tanganku kasar karena terlalu banyak mencuci. Urusan
makanan, suami tidak terlalu banyak meminta. Ini seperti layaknya anak kos semester empat yang berani untuk menikah.Ketika jalan pun orang lebih banyak melihat daripada acuh, mungkin kita masih seperti layaknya pacaran daripada suami istri.heheheh
Suami menuntut
lebih terhadap ibadah sholat. Dia menganjurkan agar diusahakan selalu jamaah,
minimal 3 sholat: subhuh, magrib dan isya. Karena dhuhur dan asar kita berada
di tempat kerja. Aku justru merasa bangga dan dimudahkan dengan ini, yang
biasanya sholat sendiri jadi bisa berjamaah. Program selanjutnya kami
mengusahakan untuk mempunyai momongan. Kami berusaha tidak KB atau menunda, terserah
Allah yang memberikan saat yang terbaik. Dengan itu, kami memulai jima dengan sholat
tahajud, kami menyukai waktu sepertiga malam. Awalnya ini berat, karena jujur
sebelum aku menikah, aku belum bisa merutinkan sholat malam. Alhamdulillah
suami dengan sabar membangunkanku dengan menciumku, sampai aku terbangun dan
menunaikan sholat tahajud.
Suami juga
konsen memperhatikan proses ketika jima agar tidak ada syeitan yang mengganggu,
memulai dan mengakhiri dengan doa. Dia menerangkan bahwa ketika kita ingin
mempunyai anak sholeh/sholehah harus diusahakan. Sehingga harus memulai dari
yang baik, dari yang kecil dan sekarang. Urusan makan suami perhatian agar
rezeki yang kumakan dari uang yang halal, makanan yang halal dan dengancara makan
yang baik, bersih dan diawali dan diakhiri dengan berdoa dan cuci tangan.
Pengalaman
lain yang baru yaitu suami sering belai-belai perut sambil baca doa, kadang
baca surat maryam atau surat yusuf., atau kadang sholawat. Ketika aku bertanya
“Mas kan belum ada bayinya?”. Suami menjelaskan bahwa dia berdoa agar tempat
bayi (rahimku) bagus untuk anak kita, selamat dan segalanya bisa dimulai dari
sekarang. Misal bisa dengan sperma yagn kuar sehingga mampu menembus sel telur
sehingga bisa tumbuh dan berkembang menjadi janin.
Pernah suatu
saat meskipun lelah bekerja dia selalu menyempatkan diri mengelus perutku dengan
sholawat sampai di tertidur di pahaku. Melihatnya begitu lelap aku tak tega
membenarkan letak tidurnya. Cerita lain, ketika mendapatkan uang, kado, amplop-amplop
dari sahabat/saudara dia memberikan seluruhnya padaku bahkan sampai slipnya pun
diberikan. Amplop yang hingga saat ini masih ada saja orang yang memberikan
diberikan tanpa dibuka olehnya terlebih dahulu. Alhamdulillah. Dia
mempercayakan semua keuangan di tanganku, istrinya. Dia juga terbuka soal
uang-uang yang dia dapatkan. Suami dan aku sepakat membiasakan untuk memberikan
kepada ibu kita secara silang, maksudnya aku memberikan ke mamah suamiku dan
dia memberikan uang kepada ibuku (budeku). Kami punya kesepakatan jika kita
memuliakan orang tua dengan materi, perhatian dan doa yang tulus padanya, Insha
Allah hidup kita akan dimudahkan dan kelak anak-anak kita juga akan memuliakan
kita.
Ya Allah
semoga dia bisa menjadi ayah dan suami yang baik. Amin. Dan aku pun demikian
menjadi istri dan ibu yang baik. Semakin hari aku tinggal dengannya semakin aku
kagum atas pemikiran dan kebiasaannya yang dulu sebelum menikah tidak
kuketahui.
26 Februari
2013
Komentar
Posting Komentar