Lampung Membuat Hati Membumbung
Ada musim
supervisi di kantorku yang mengharuskan beberapa pegawai melakukan perjadin
(perjalanan dinas). Aku tidak terlalu
pusing dan menanggapi karena posisi waktu itu aku sedang hamil 17 minggu. Dan
kemungkinan sudah tidak lagi melakukan perjadin, pikirku.
Betapa
mengejutkan teman paduan suara yang pertama mengabarkan tentang perjadin yang
harus kulaksanakan yaitu ke Lampung. Betapa kagetnya aku, dan ketika aku
menceritakan bahwa aku hamil 17 minggu, teman menyarankan untuk tanya-tanya
dulu mencari informasi. Kebetulan aku dikirim ke Metro. Aku masih menyimpan
informasi tanpa bertanya-tanya karena belum ada SK. Tak berapa lama SK dikirim
melalui email, aku juga masih berpikir untuk tidak mengambil karena wujud
kecintaanku yang berlebih untuk anakku, aku ingin janin aman tanpa spekulasi.
Selain itu, melihat sifat suami yang begitu khawatiran terhadapku, kemungkinan
suami tidak menyetujui. Seperti contoh, kalau mau mencuci piring atau melakukan
pekerjaan yang basah-basah, suami sering melarang dan mengatakan, “De licin,
udah ntar aku aja yang ngerjain”. Terkadang aku kasihan, kalau semua-semua
harus suami yang mengerjakan, suami sudah lelah bekerja masih harus mengerjakan
pekerjaan rumah. Di antara kami berdua, dia yang lebih lama di luar rumah.
Jadi, seharusnya aku yang mengerjakan. Maklumlah, kami belum punya asisten
rumah tangga, jadi pekerjaan rumah tangga dikerjakan berdua. Semenjak hamil,
sepertinya dia yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Itu membuatku
hopeless, pasrah, dan mencari-cari cara untuk menolak. Tapi bagaimana caranya,
aku baru pertama kali ditugaskan perjadin.
Tak berapa
lama, ada telepon dari orang asing, dia mengaku PJTU dari lampung, Pak Ali
(ICT). Kami saling berkomunikasi dan berkoordinasi terus sampai akhir tugas
ini. Dia baik dan sangat pandai berkoordinasi dan bekerja sama, sifatnya aktif
menerangkan, sehingga aku pun mudah menjalankan tugas tanpa banyak bertanya.
Cara yang
pertama kutempuh adalah mencari teman senasib, muncullah nama F (ICT) yang
kebetulan dikirim perjadin juga. Dia sedang hamil yang kedua, anaknya yang
pertama masih kecil sekali, kalau tidak salah masih 1 tahun, kemungkinan besar
pasti dia tidak ikut, begitulah dugaanku. Ternyata di luar dugaanku, dia begitu
semangat 45 pergi perjadin, kata dia, dia ditempatkan di Bandar lampung
kotanya, selain itu tugasnya tidak memberatkan. Tetapi dia masih minta izin
suami, ini juga pengalaman pertama dia.
Selain
rekan-rekan satu instransi, aku punya tiga teman dari Lampung, pertama Ryka,
teman kosku dulu di Jogja, setelah kontak kembali, ternyata dia tanggal segitu
di Jogja. Memang terakhir kali kita berkomunikasi, dia mengambil kuliah S2,
hehhehe katanya terinspirasi mba tiwi. Ryka itu ade kelasku, dia alumnus Gontor
Darussalam.
Satu temanku
adalah R, mantan gebetan, seorang peneliti di Lampung. Dulu sudah pernah
kucurhatkan di judul “Aku Ikut Bahagia Dia Menikah”. Komunikasi di antara kami
tetap terjalin, dan itu pula sebagai sarana bagi kami untuk bertanya-tanya. Dan
yang ketiga S, dia lahir, kerja di Lampung, teman S2ku, tetapi sekarang dia
menjadi dosen ITB.
Aku
menyampaikan tugas negara ini kepada suami dengan penuh hati-hati. Jika tidak
diberi izin, aku sudah siap. Buatku, kalau suami tidak memberikan izin tentu
dia punya alasan yang kuat untuk kebaikan aku dan janinku. Ajaran yang kuanut,
kepergian istri meninggalkan rumah harus seizing suami, karena ridho suami
berkah untuk istri. Istri wajib patuh apalagi kalau suami menjalankan syariat
Islam dengan benar tidak ada penyimpangan atau sekadar melarang tanpa memberi
alasan yang kuat. Lagi-lagi di luar dugaan, suami memberikan segala keputusan
di tanganku, jika dirasa tugas memberatkan dan aku tidak sanggup, lebih baik
tolak, namun jika dirasa aku bisa menjalankan dengan sempurna, pergilah, anggap
sebagai hiburan untuk ade (janin buah hati kami) sehingga aku pergi tanpa
beban.Alhamdulillah, makin bertambah umur pernikahan kami, makin merasa suami
makin dewasa, meski dia lebih muda dariku. Dia menyarankan aku untuk mencari
informasi tupoksi apa yang harus kukerjakan dan medan yang harus ditempuh,
jalan bagus atau membahayakan atau tidak?
Segala saran
suami aku lakukan, aku mulai mencari-cari info kepada senior, mendengarkan dan
membaca segala informasi yang berhubungan dengan kegiatan supervise serta
berkoordinasi dengan pihak upbjj. Selain
itu, aku juga tanya-tanya kepada kedua temanku, Ryka, R dan S. Alhamdulillah
semua pihak yang kutanya merespon dengan baik. Merasa beruntung punya banyak
teman dan tetap berkomunikasi, sehingga kalau pun harus tanya-tanya sudah tidak
sungkan lagi. Coba seandainya aku berkomunikasi di saat sedang butuh saja,
tentu akan lain perasaannya baik pihak yang meghubungi maupun yang dihubungi.
Kami ke
Lampung berlima, aku,M, N, F, dan NH.
Mereka aktif menghubungi aku, aku juga merespon dengan baik. Bahkan aku
yang paling muda di antara mereka seperti pusat informasi dan penentu
kebijakan, mulai dari waktu pembelian tiket yang bersama, kemudian
keberangkatan ke bandara, sampai urusan membeli oleh-oleh.heheheh. Mereka
berempat selalu laporan ke aku misal dah sampe ini, sudah ambil sppd, kapan mau
beli tiket, dll, jadi merasa seperti pimpinan mereka heheheh, padahal ini
pengalaman pertama. Dan ini berlanjut sampai di Lampung, memilih hotel,
mengatur makan dll aku juga yang memutuskan berdasarkan masukan teman-teman
juga.
Sementara F
(ICT) temanku yang telah semangat 45 justru malah tidak diizinkan suami. Aku
tidak bertanya banyak tentang alasannya, aku berusaha menghibur bahwa keputusan
suami adalah yang terbaik.
Akhirnya
sampai aku pada keputusan, aku akan berangkat dan hasil dari berbagai informasi
aku sampaikan ke suami dan suami mendukung keputusanku. Aku menelepon ibu di
kampung dan mamah di Bekasi meminta izin dan doa. Mereka berjanji untuk
mendoakan dan mamah berpesan agar jangan pernah meninggalkan sholat.
Sebelum itu,
suamiku meminta haknya alias jatahnya.heheheh. kata dia “Ayo de, kan kamu lama
di sana, jadi yuk qt jima dl”, diikuti
dengan gerakan menggoda dan kerlingan mata seksi. Hahaha..dasar laki-laki…
Tak lupa aku
membeli susu kotak, teh kotak, dan roti sebagai logistik dan kumasukan ke dalam
koper. Suami melihat tingkahku dengan tersenyum “de, metro tuh kota, jadi kalau
sekadar susu kotak tentu ada lah”. Aku menjawab “aku tahu, metro tu kota,
banyak orang Jawa di sana, tetapi daripada ntar aku nyari-nyari di sana, iya
kalau dekat, kalau jauh kan repot”.
Setelah itu aku menyiapkan air hangat untuk mandi
besok pagi, dan packing baju. Awalnya suami menyarankan membawa ransel saja
tetapi aku memilih membawa koper, walau koper akhirnya masih sangat longgar,
karena bawaan sedikit.
Jumat, 8 November 2013
Jam 3, aku
mematikan jam, sial, semalam suamiku yang menyetel, rupanya dia menyetel pukul
3, aku masih mengantuk. Aku memasak air hangat untuk suamiku, aku tinggal
ngliyep sebentar. “De, ntar kesiangan lho, aku ga tanggung jawab”. Pukul 4 aku
terbangun, mandi, menunggu adzan subhuh untuk sholat, menyiapkan sarapan, dan
membangunkan suami. Aku memandang perutku yang sudah agak menonjol sambil
berkata “yah, ga bisa ngaku single deh”. Suami dari merespon dengan memegang
perut sambil berkata “de, kalau mamah nakal, muntahin aja makanannya”. Diikuti
tawa kita, sambil dia terus mencium perutku seperti tidak mau berpisah dengan perutku,
ada haru sedikit dalam hati tetapi bisa ditepis dengan sisa tawa tadi. Jam 5an aku ada telepon bahwa teman (N) sudah
meluncur sampai Gaplek. Kebetulan aku telah siap, suami siap mengangkat koperku
dan mengantarkanku. Kemudian mobil meluncur menjemput M di kantor kemudian kita
lanjut ke bandara Soeta.
Sekitar 25
menit, kami sampai di bandara Radin Inten II, kemudian telah ada pihak dari
UPBJJ yang menjemput dan dilanjutkan “kula nuwun” ke kantor UPBJJ. Setelah
selesai, dilanjutkan makan sian di restoran begadang, kemudian ke hotel. Ketika
ada pembagian kunci, mba Nteman kamarku mempersilakan aku untuk memilih
kunci, aku memilih angka berbau 17,
entah, angka cantikku mungkin dan ternyata kamar yang paling bagus ya kamarku.,
strategis, sinyal full dan tidak horror. Heheh.
Malam telah
tiba dan setelah sholat magrib, kami berburu kuliner setempat. Jam 9an kami
tiba kembali di hotel, betapa terkejutnya, sudah ada temanku R, mantan gebetan
di depan kamar. Aku putuskan untuk memperkenalkan pada teman-teman kemudian mereka
memberikan waktu kami berdua mengobrol. Awalnya dia mengajakku pergi makan ke
luar atau sekadar jalan-jalan. Tetapi aku memutuskan untuk menampik dengan
alasan, kami baru saja keluar. Lagipula aku tidak ingin anakku terlalu banyak
menghirup udara malam. Akhirnya, kami memutuskan mengobrol di lobi hotel. Di
lobi hotel banyak orang, sehingga kami tidak berdua-duaan.
Aku lebih
banyak mendengarkan kisahnya. Wajahnya masih seperti dahulu 4 tahun yang lalu
di Malang, hanya sekarang nampak lebih tirus (kurus). Mungkin tuntutan ekonomi
karena telah menikah membuat badannya susut. Dia mulai bercerita awal dia
berkenalan dengan istri dan menceritakan keadaan rumah tangga. Agak risih
mendengarnya karena nyaris aku tiada bertanya masalah itu, tetapi justru dia
yang terus bercerita. Di sela-sela pembicaraan sering kali diikuti pujian
terhadapku yang membuatku membumbung tinggi. Aku hanya tersenyum (dalam hati
terus beristighfar, bukankah pujian itu hanya pantas untukNya).
Dia
mengatakan bahwa aku tak banyak berubah, tambah cantik, molek dan berisi
(hahah). Bahkan aku tak terlihat seperti hamil. Orang Lampung bilang “hamil
cantik” karena ketika hamil malah tambah cantik, merona, berseri-seri, tidak
pucat, lemas dan kuyu-kuyu.Obrolan terus mengalir, dia bercerita juga tentang
kehamilah istrinya yang semakin membesar, berbagai keluhan yang terjadi dari
mual, lemas, ngeflek, uring-uringan dll. Dia juga bertanya kepadaku tentang
pengalamanku di kala hamil. Subhanalloh, begitulah yang sering terucap dari
bibirnya. Dia mengatakan “kamu memang wanita hebat de, perkasa, tahan banting”.
Aku jawab “perkasa?emang aku cowo?kalau dibanting aq ga mau kak” jawabku. Dia
menjawab “ya engga cantik de, maksudnya kuat, tahan, engga banyak
pantangan..dia sambil tertawa”. Dan diikuti dengan tawaku.
Aku
menyampaikan keinginanku untuk membelikan sesuatu untuk si dede kak R, tetapi
aku teringat semacam “pantangan” di Jawa untuk membeli barang-barang untuk dede
yang masih dalam perut. Akhirnya niat itu kuurungkan, aku bertanya, apa di
Lampung juga mengenal tradisi seperti itu. Karena masing-masing daerah punya
tradisi sendiri-sendiri. Ternyata di Lampung menurut versi kak R juga ada
tradisi “pantangan” itu, tidak membeli sesuatu untuk kebutuhan bayi, apalagi
jika dede masih dalam perut, kalaupun mau mencicil, lebih baik disimpan berupa
tabungan (uang). Kak R pernah juga diberi oleh orang kemudian dia memilih untuk
menerima tetapi barangnya tidak dibawa pulang dan dititipkan kepada yang
pemberi. Alhamdulillah, hal yang sama juga aku lakukan, beberapa kerabat sudah
memberikan beberapa perlengkapan bayi, baik yang second atau gress, tetapi
sebelum diberikan aku mengingatkan kembali tradisi etnis kita. Lagipula
mengirit tempat, secara rumah kami sempit padahal tidak segera digunakan, jadi
diambilnya kalau sudah dibutuhkan saja. Aku menawarkan untuk membelikan baju
hamil, tetapi ditampik oleh kak R, katanya untuk kamu aja de, kan kamu juga
butuh, aku juga tak sempat membelikan apa-apa, tetapi lain kali kalau aku ke
Jakarta dan ada kesempatan ketemu aku ingin beliin sesuatu untuk anakmu.
Mengenai jenis kelamin, kita punya kesamaan tidak mau melihat terlebih dahulu,
heheh surprise.
Tak terasa
waktu terus berpacu, jam 10 aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaran ini,
walau aku tahu di matanya masih ada harapan agar aku terus mendengarkan
kisahnya. Tetapi aku lebih sayang anakku (janinku). Aku tidak mau dia kurang
istirahat lantaran tidur terlalu larut. Aku juga tak nyaman kalau teman
sekamarku menunggu terlalu lama, begitu batinku.
Masih
seperti dulu, dia laki-laki yang bertanggung jawab. Dia mengantarkanku sampai
depan kamar, bersalaman dan menungguku sampai aku masuk kamar. Tak berapa lama,
suami telepon. “De, lagi apa? Bla blab la” dan pembicaraan berlanjut dengan
suami.
Sabtu, 9 November 2013
Seusai
sarapan, pagi hari, kita jalan-jalan ke tempat perbelanjaan terdekat. Kemudian,
menunggu supir untuk mengantar kami membeli oleh-oleh di toko yen-yen, toko
oleh-oleh terkenal di Lampung dan kemudian makan siang dengan makan empek-empek
di 123, sepanjang aku makan empek-empek dari manapun, empek-empek 123 adalah
empek-empek yang terenak, harganya juga cukup mahal dibanding dengan
empek-empek biasanya, lenjer 44 rb, selam 16 rb. Aku memilih memesan
empek-empek dengan paket 100rb.
Tentu aku
tak lupa membeli oleh-oleh untuk teman-teman kantor, kerabat dan titipan M
karena dia harus berangkat dahulu ke Liwa. Kemudian, jam 2an kita sampai hotel,
tidur dan menikmati nyamannya hotel, malamnya kita kuliner lagi. Hari ini juga
aku sudah berbelanja celana hamil, baju hamil dan kemeja untuk suami dan
kembali tidur pulas.
Minggu, 10 November 2013
Pagi jam
5.30 aku sudah dijemput oleh supir menuju lokasi ujian, setelah melihat sekolah
masih belum ramai, pak supir mengajak sarapan nasi uduk di dekat sekolah, baru
setengah 7 kami sampai di sekolah dan mulai kegiatan supervisi.
Setelah
beramah tamah dengan para PJTU, PJLU, pengawas keliling dan pengawas ruangan,
aku melanjutkan dengan mengecek ruangan satu per satu. Dari mulai awal, naskah
masih disegel sampai pemusnahan naskah. Aku juga mengamati apakah ada
penyimpangan atau tidak. Aku melaksanakan kegiatan ini dengan penuh gembira,
stok teh kotak dan susu kotak sudah libas, ade di perut juga tidak rewel,
diajak jalan-jalan melihat ujian, dia happy, kebetulan gedung sekolah semua di
lantai 1 sehingga tidak harus naik turun tangga, Alhamdulillah Allah
mengabulkan doaku.
Sebagian
pengawas, peserta ujian bahkan kepala sekolah berbahasa Jawa jadi berasa pulang
ke kampung halaman, “inggih”, “mangga”. Nama wilayah di sini juga banyak yang
mirip seperti nama-nama di Jawa, tanaman
jati, sawit, pisang dan kontur tanah mirip sekali di Jawa. Setelah mengobrol
ternyata supirnya juga keturunan Jawa,
membuatku tak kikuk dengan tugas ini, berasa di rumah, berkomunikasi dengan
orang-orang sendiri.
Setelah
proses pemusnahan naskah, kami kembali ke hotel naik bis dan dijemput di
bundaran. Aku diantar sampai halte dan dititipkan oleh kernet. Di bundaran
sudah ada supir yang menunggu dan mengantarkanku sampai hotel.
Di hotel
sudah ada rekanku, tidur sebentar dan kemudian ishoma, menyiapkan strategi
untuk pulang.
Senin, 11 November 2013
Sebelum kami
berangkat ke bandara, kami berpamitan ke UPBJJ, kemudian dilanjutkan ke Bandara
dengan penerbangan pagi. Kenapa pagi? Awalnya ada perdebatan, satu orang
menginginkan pulang siang agar bisa lama di Lampung bisa jalan-jalan, sebagian
juga setuju untuk segera pulang cepat. Terlepas dari itu, feelingku lebih baik
pulang pagi, cuaca mendung. Lebih baik hujan di darat daripada pas di udara,
pikirku. Dan benar, aku masih beruntung, meski sedikit merasakan penerbangan
tak sestabil sewaktu berangkat tetapi tidak ada delay. Ketika sampai di bandara
dan kemudian naik taksi pulang di sepanjang jalan hujan deras, langit
menghitam, di status bbm teman yang mantau banyak yang terkena delay, bahkan
ada yang belum bisa langsung mendarat di Soeta. Alhamdulillah, lagi-lagi
feelingku membawa keberkahan. Aku berdoa agar ketika tiba di rumah, hujan sudah
reda, dan Alhamdulillah dikabulkan. Mungkin doa orang hamil itu diijabah?tanda
tanya dariku.
Sesampai di
rumah, aku mengisi perut, merapikan pakaian di koper, membagikan oleh-oleh
untuk tetangga rumah, mamah, kakak dan teman-teman kantor. Leyeh-leyeh sebentar
dan kembali pada rutinitas dan persiapan besok selasa manggung paduan suara.
Wah, nanti kalau keluar harusnya bisa nyanyi soalnya mama papanya suka
menyanyi.
Pondok Cabe, November 2013 dalam riasan gerimis..
Komentar
Posting Komentar