Wanita yang Hormat di Balik Suami yang Hebat
“De, maaf hari ini aku pulang telat”, “Sayang, maaf
hari ni aku pulang agak malam”. “De, besok aku lembur de, ga pulang, ada
kerjaan *** di kantor, siapin baju yah”. “Cantik, kamu makan dulu yah, aku
belum tahu pulang kapan, ini kerjaan masih banyak”. Kurang lebih begitu
percakapan suamiku akhir-akhir ini. Alhamdulillah, segalanya harus disyukuri,
saat ini suami dipercaya/beramanah menangani pekerjaan yang lebih sibuk, hal
itu tentu berbanding lurus dengan pendapatan. Apalagi, kami membutuhkan pos
pengeluaran yang besar dalam satu waktu yaitu, kuliah, bayar rumah dan
persiapan si ade. Belum lagi, pos pendapatan dariku berkurang semenjak
September membuat kami harus lebih bijak lagi mengelola keuangan.
Alhamdulillah, di saat seperti itu, suami dan aku
diberikan kesehatan dan si ade juga sehat dan tiada keluhan, semoga selalu
begitu. Aku lebih banyak diam dan melayani ketika suami pulang, jika ada yang
kurang di rumah, suami lebih volume keras menegur, awalnya kesal rasanya,
tetapi setelah kupikir dan kupikir selain itu teringat nasihat di pengajian
kantor, akhirnya aku lebih banyak memperbaiki diri ketimbang membalasnya dengan
kata yang lebih keras. Bukan aku tak bisa keras, tetapi aku lebih memilih
memperbaiki diri. Semenjak ramadhan aku memang aktif mengikuti kajian di kantor,
waktunya selepas bekerja, tiap hari Rabu. Alhamdulillah suami mendukung
lagipula aku berjanji magrib sudah ada di rumah. Ilmu yang kudapat sangat
bermanfaat dan langsung dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Sejak aku
pindah tinggal di Pondok Cabe aku memang lebih sering absen ngaji di masjid At
Tien daripada berangkat.
Ternyata dengan itu justru teguran untuk suami, suami
lebih merasa bersalah, meminta maaf, memelukku dan mengatakan “Andai boleh
mengeluh aku lelah de, banyak kerjaan, maafin atas sikapku yah”. “Iya sayang,
kalau lelah istirahatlah, mau kupijitin?” jawabku menawarkan diri. “Engga, kamu
tentu juga lelah menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri, apalagi dengan kondisi
kehamilanmu yang makin membesar, tidur tanpa dipijit olehku, ngaji sendirian, padahal
kalau aku tak sibuk tentu aku akan membantumu” katanya. Seulas senyum aku
persembahkan. Mungkin beginilah kiranya peran istri, aku mencoba menjalankan
peranku dengan sebaik-baiknya hormat kepada suami, memperbaiki diri, jauh lebih
mulia daripada terus menerus mencari-cari kesalahan pasangan. Kurasa suamiku
juga bukan orang yang bebal, sekali “sentilan kecil” lekas membuatnya tersadar.
Aku berusaha menerapkan perintah agamaku. Menjadi suami istri adalah proses
belajar yang tiada usai, tidak ada pelajarannya, selalu ada perbaikan, dan
pemberian maaf demi hubungan yang baik.
Suami memeluk dengan erat “Selalu jadi istriku yang
cantik ya de, makasih selalu di sampingku”. “ Ya mas” jawabku, sambil kucium
keningnya. Kesibukan dan tuntutan kerja yang tinggi menguras tenaga, pikiran
dan perhatian. Oleh karena itu, sebagai perempuan kita siap mendampingi,
menguatkan dan menenangkan suami. Alhamdulillah, hubungan kami semakin mesra,
kerjaan di kantor juga berjalan dengan baik, pundi-pundi rupiah juga mengalir.
Suatu waktu suami menceritakan perihal kakak
perempuannya yang hendak meminjam sejumlah uang, dia meminta izin aku sebagai
istrinya. Aku menyetujuinya. “De, setiap keluargaku ada keperluan kamu selalu
mengizinkan, padahal aku tahu benar kita sangat membutuhkan uang itu, kenapa?”
tanyanya. “Mas, kita memang butuh uang, tetapi mungkin kakak dalam hal ini
lebih membutuhkan, kita belum punya anak, sementara dia punya anak tiga tentu
bebannya jauh lebih tinggi daripada kita, jadi tidak ada alasan untuk tidak
membantu to?” kataku memberi penjelasan. Dia tersenyum, mengelus perutku dan
menciumnya “Kelak, seperti mamah ya de, baik hatinya”.
Sabtu, 23 November 2013
Aku tahu betul, pekerjaan di kantor masih banyak dan Sabtu
ini tentu dia disuruh masuk. Tetapi suami memilih untuk mengantarkan aku check up ke dokter. Sebetulnya aku
bukanlah perempuan yang menuntut chek up
selalu ditemani suami, kalaupun kali ini tidak ditemani, buatku tidak masalah,
karena sejak check up pertama sampai saat
ini selalu ditemani suami.
Benar setelah menemani check up dan makan siang, suami
minta izin pergi ke kantor. Dia juga belum tahu akan pulang jam berapa,aku
lebih mengalah untuk mempersiapkan diri pukul 18.00, jika harus nunggu juga
tidak mengapa.
Jam 17.30 suami sudah sampai rumah, dia mandi air
hangat yang sudah kusiapkan, kemudian kami pergi pukul 18.00, mampir sholat di
masjid untuk ibadah magrib di daerah kemang. Kemudian melanjutkan ke Bekasi, ke
rumah mamah.
“De, nonton yuk, aku mau cari hiburan nih, kerja mulu,
beli tiket terus makan” dia memberi penjelasan. Aku menyetujuinya. Parkiran di
mall yang kami kunjungi sangat ramai, ada beberapa space kosong di luar. Suami bertanya “Parkir luar apa dalam ya
de?”. “Dalam aja mas, mungkin lebih lega” jawabku. “iya emang kalau di dalam
lebih enak” jawab suamiku dan tentu itu udah di luar konteks alias mengarah ke urusan
ranjang hehehhe. Feeling, lagi-lagi aku merasa semenjak hamil ini aku banyak
didominasi oleh feeling yang menurutku kadang tidak realistis.
Pukul 23.30 film selesai, suami mengelus perutku “Ade
jangan tiru mama papa yah, jam segini baru pulang”. Begitu mau keluar parkiran,
terlihat begitu ramai orang di pinggiran arah mau ke parkiran, rupanya di luar
hujan deras, orang-orang hendak pulang tetapi menunggu hujan reda. Dari atas
menuju ke parkiran memang melewati jalan tanpa atap, meski hanya sebentar.
Alhamdulillah aku membawa payung meski kecil cukuplah
melindungi tubuh kami yang mungil mungil hehehe. Suami merasa beruntung
mengikuti saranku untuk parkir di dalam sehingga kendaraan kami tidak
kebasahan. Ini kesekian kalinya kami terselamatkan dari basahan hujan.
Belum lama ini aku juga mengalami hal seperti ini, aku
sudah punya feeling bakal hujan di jam-jam istirahat oleh karena itu aku enggan
pulang. Tetapi temanku menginginkan daun itu segera, akhirnya aku menuruti
untuk pulang lagipula siang itu cuaca cerah. Tidak berapa lama, tanpa aba-aba
langsung “bress” hujan deras. Aku memang sudah di rumah dan berhasil memetik
daun yang diminta tetapi untuk kembali ke kantor menunggu hujan reda. Kalaupun
dipaksa pakai payung, sampe kantor bisa basah kuyup dan aku tidak mau janinku
kedinginan. Aku bisa saja mengatakan “nanti hujan”. Tetapi tidak semua orang
menerimanya, bisa saja dianggap “ah mungkin kamu aja yang males ngambil atau
dugaan lain”. Itu wajar karena feeling ini memang tidak realistis.heheheh.
Berkali-kali temanku juga mengalaminya, setiap pergi
denganku ketika makan siang di luar atau melakukan aktivitas ketika istirahat,
jarang/belum pernah terjebak hujan. Akan tetapi, ketika tidak mengajakku pernah
mereka terjebak hujan. Bukan aku benci dengan hujan, justru aku suka hujan
apalagi kalau hujan rintik tanpa petir atau angin. “Hujan itu romantis” begitu
kesanku tentang hujan, “Ada banyak cerita dalam hujan” kesan itu yang suami
rasakan. Pernah suatu sore setelah pulang kuliah, kami duduk di balkon kampus,
memandang hujan dan menceritakan kekaguman masing-masing terhadap hujan. Begitu
mesra, tanpa harus berdekatan fisik, dulu kami belum menikah.
Minggu, 24 November 2013
Hari minggu lebih banyak kuisi dengan membantu membuat
tumpeng, kebetulan sekolah Tika, ponakan sedang ulang tahun sekolah dan ada
lomba tumpengan. Membuat garnis dibuat hari minggu, baru kemudian seninnya
masak kekurangannya.
Setelah tidur siang, entah mengapa begitu mengantuk.
Akhirnya kita pulang seusai magrib, rasanya malas untuk melakukan perjalanan
Bekasi-Tangsel. “De, kita mampir di ace hardware dulu yah, ada yang mau
kubeli”. Aku menganggukan kepala. Tidak banyak yang kami beli, kami menuju
parkiran.
Terlihat seorang ibu-ibu memakai rok panjang, jilbab,
membawa sesuatu “CD untuk anak-anak”. Aku menolak dengan seulas senyum. Agak
aneh, sepertinya si ibu ini tidak berbakat menjual dagangan, diam tak banyak
yang dikatakan, berbeda dengan pedagang-pedagang yang mengatakan “boleh kakak,
bla bla bla. Melihat wajahnya rasanya ingin membeli dagangan si ibu tetapi apa
daya uang di dompet, uang dari suami semua dan sudah ada pos-posnya, tersisa 50
ribu itu pun untuk makan suami. Suami mengatakan “kamu mau beli de?”. Aku
menggeleng halus. Kendaraan yang kami naiki melaju meninggalkan tempat
perbelajaan. Suami berkata “De, laper ga? aku laper nih pengen kebab”. “Aku
masih kenyang, sebelah kiri kan ada kebab baba rafi” mencoba memberi petunjuk. Setelah
pesan, aku hanya membeli jus jambu, kemudian terlihat suami bengong seperti ada
yang dipikirkan. “Mas, mikir apa?ibu tadi” mencoba menebak. “Iya” jawabnya
singkat. “Sama” dan bla..bla kuceritakan kondisi dompetku. “Oh ya udah, kebab
pake uang bensin aja, nih (sambil menyodorkan uang), kebetulan bensin masih
banyak, kamu kasih uang 50 rb ke ibunya, ambil 2 barangnya, kamu mau balik?”.
Alhamdulillah aku menganggukkan kepala.
Kendaraan kami berputar balik, jarak yang kami tempuh
agak jauh. Kami harap-harap cemas takut si ibu sudah tidak ada. Aku mendekati
tempat parkiran tadi, si ibu sedang dimarahi oleh satpam karena dilarang
jualan.
Aku memanggil si ibu agar tidak di depan pak satpam,
aku mengatakan “sini aja bu, yang terang” aku berdalih.Aku melihat jualan si
ibu, ada beberapa CD pengajian dan CD anak-anak, dan sebetulnya aku belum
butuh, kalaupun butuh semua ada di youtube tinggal unduh di kantor, itu perkara
mudah. Kulihat tatapan si ibu, terlihat lelah, tangannya kasar. “Ibu, kenapa jualan malam-malam” tanyaku,jam tanganku menunjukkan jam 09.30
malam. “Ya, mba, pagi saya jadi buruh cuci, siang masak ngurus anak istirahat,
sore ambil barang” jawabku. Ingin kutanya lebih lanjut tetapi aku takut suami
ngomel gara-gara kelamaan ngobrol. Aku mengambil dua dengan harga 12ribu. “Ibu,
ini uangnya, sisanya buat anak ibu” sambil kuberikan uang. “Mba tapi ini
kebanyakan”. “Ga pa2 bu” sambil kulihat mata ibu hampir berkaca-kaca dan saat
moment itu aku teringat betapa sulitnya dulu aku, hampir saja aku meneteskan
air mata, tapi aku buru-buru meninggalkan si ibu dengan senyuman, aku pun tak
ingin melihat si ibu melihat tetes air mataku. Pengalaman kehilangan
orang-orang yang kucintai sejak masih kecil dan perlakuan mamah tiriku membuat
aku mudah emosional, mudah menangis, tetapi justru itu yang menguatkan aku
untuk terus berjuang melanjutkan hidup.
Aku mendekati suamiku, kemudian kendaraan pun melaju,
aku terbiasa menangis dalam keheningan. Nyaris tanpa suara, air mata meleleh,
semua perlakuan jahat mamahku, keranda orang-orang yang kucintai selalu kuantar
hingga liang lahat seketika terbayang di benakku. Betapa sulitnya mencari uang
untuk makan dan beli buku sembari tetap kuliah dan mempertahankan nilai terbaik
kembali hadir. Pujian dari ibu, kerabat, teman-teman, tetangga “Tiwi, kamu
hebat, yang punya dua orang tua lengkap aja belum tentu bisa S2”, “ Tiwi, kamu
tahan banting, kehilangan dua orang tua ternyata tak membuat IPK kamu turun kan”,
“Udah wi, sabar yah, kesuksesan tidak selalu karena uang, tetapi ketelatenan
untuk memperbaiki diri, aku yakin kamu bisa”. Orang-orang yang menguatkan seakan
kembali mengucapkan kata-kata itu. “De kamu kenapa?” suami mengagetkanku,
padahal aku tak mengeluarkan suara apapun. “Mas tahu aku nangis yah?”, “Aku
teringat ibu itu, naudzubillah, aku ga mau aku, atau turunanku mengalami itu
lagi, semoga kita diberikan rezeki yang melimpah, ilmu yang bermanfaat, dan
ketentraman hati” sambil mengelus perutku.” Ya enggalah sayang, aku tidak akan
membiarkannya, apalagi kalau selalu membersihkan harta, Insya Allah engga”. “De,
aku mencintaimu, hatimu menyatu dengan hatiku, susahmu susahku juga, pedihmu
pedihku juga, apa yang kamu rasakan, aku rasakan juga”. Motor melaju, kami
masih terngiang dan pikiran melanglang buana, entah kemana, sampai akhirnya
kami tiba di rumah.
Pondok Cabe, 24 November 2013
Komentar
Posting Komentar