Hidup Itu Sawang Sinawang
Pagi ini
seperti biasa aku menyuapi Claritza, di depan rumah, sambil lihat burung
beterbangan. Kulihat mobil tetangga masih di parkir di depan rumahnya, hal yang
tak biasa. Biasanya jam segini suami istri itu sudah berangkat ke kantor di
Jakarta.
Aku asyik
bermain dengan Ritza, tak terasa ternyata ada yang menegur dari arah belakang.
“Lagi makan ya
Ritza?”
“Ya” jawabku
sambil menoleh, rupanya tetanggaku yang barusan ada di benakku. Dia begitu
hafal mengucapkan nama panggilan anakku, padahal hampir semua orang mengalami
kesulitan dengan nama panggilan itu, ada yang memanggil “Risma, Icha, Riska,
Riza, dll”.
“Lagi libur
bun?” aku berusaha beramah-tamah dengan tetanggaku ini.
“Iya, si kakak
agak anget badannya, jadi ga masuk kerja deh”.
“Oh gitu,
kecapean mungkin, semoga lekas sembuh” aku menjawab respon dari tetanggaku, aku
lebih banyak berinteraksi dengan Ritza, dan mungkin bunda cuman ingin say hai
aja..
Di luar dugaan,
si bunda tetanggaku ini malah ngajak ngobrol dan berdiri agak lama di depan
rumahku.
“Ritza masih
asi?” (aku jawab dengan menganggukkan kepala sambil tersenyum), “Ritza gampang
yah makannya telap-telep (yang ini belum sempat direspons olehku, dia sudah
nyerocos hehehe), gampang, ga pilih-pilih, udah bisa jalan juga tetap berisi
badannya, baik hati lagi, temannya banyak,… ozil, sultan, ben, zem, ben, nai,
(dia menyebut satu2..), suka minjemin mainan, tuh yang lampu-lampu Kitty masih
dipinjem … (menyebut nama anaknya).
Aku jawab “Ya
biarin ga papa”.
“Ini masih di
rumah?” tanyanya.
“Iya, bentar
lagi mandi, setelah Ritza beres, aku
berangkat” jelasku.
“Enak yah jadi
mbak tiwi, kantor dekat rumah, sebelum berangkat bisa nyuapin mandiin anak,
istirahat bisa pulang, sore sebelum magrib dah di rumah, sabtu masih bisa
belly, aktif di MT (Majelis Taklim), weekend bisa pacaran (lho yang ini tahu
darimana coba?), anak sehat, kelihatan happy”
“Alhamdulillah,
ah bisa aja bunda…” aku bingung juga harus nanggepin gimana.
“Kata orang
jawa itu, hidup memang sawang-sinawang, artinya mirip rumput tetangga selalu
lebih hijau, lebih baik”. Aku berusaha agar si bunda ini juga happy.
“oh..Mba Tiwi
teh orang Jawa, kirain orang Sunda..hehhehe, benar-benar ga nyangka” katanya.
Aku jawab
dengan senyuman dan berakhir dengan kata-kata “Yah, saya sempatin aja bu,
lagian hidup ini juga kan ujung-ujungnya akhirat juga, buat tabungan aja
bun…kalau diri belum tentu lebih daripada orang lain”.
Dia pun tampak
lega dengan jawaban saya. Aku berpamitan masuk karena harus melayani suami yang
baru selesai mandi, menemani suami minum susu, menyiapkan dll.
Yup, hidup
memang sawang sinawang, hari ini saya pun merasa sangat bersyukur. Ini yang
terbaik, Allah berikan padaku dengan segala pengkondisian dariNya,
teng..terlintas surat Ar Rahman, amalan yang sering kubaca..”Nikmat manakah
yang engkau dustakan”..
Pepatah Jawa ini sebenarnya ingin
menyatakan bahwa orang hidup di dunia ini hanyalah saling memandang. Artinya,
saling menilai, menakar, menduga, dan mengimajinasikan, bisa saja Pandangan
atau cara melihat kita kepada orang tersebut bisa saja benar. Akan tetapi
kebenaran itu belum tentu sempurna. Mungkin juga gagasan atau pandangan kita
akan orang itu salah. Bisa jadi orang tersebut memang kaya, tetapi belum tentu
hidupnya bahagia seperti pandangan atau dugaan kita.
Alhamdulillah..segala puji hanya pantas
tercurah untuk Allah…
Bojongsari, 25 Mei 2015….ketika jatah
hidup makin berkurang
Komentar
Posting Komentar