Kabar yang Membuatku Khawatir



Jumat, 7 September 2012
Hari ini ulang tahun adikku, setelah aku mengucapkan melalui telepon, aku kembali bekerja. Kerjaan banyak tetapi karena aku enjoy, satu demi satu kerjaan bisa terselesaikan. Menjelang siang, tumpukan kerjaan di mejaku mulai terlihat berkurang. Handphone berdering, mbakku yang di Cilangkap menelepon mengabarkan berita bahwa bapakku (pak dhe) masuk rumah sakit pagi tadi karena pingsan, tensinya 110 dan muntah darah. Terbayang wajah bapak yang pucat dan penyakit lamanya liver. Bapak memang punya riwayat lever, tahun lalu juga diopname karena penyakit itu. Tak terasa air mata berlinang, ditambah pikiran tentang mimpi-mimpi buruk belakangan ini. Aku mencoba bercerita pada rekan kerjaku tentang mimpi-mimpi aneh plus bau  yang mistis. Dia mengatakan tidak usah terlalu menghiraukan. Aku pun sepakat dengan pendapatnya. Sepanjang hari, aku mendengar lantunan ayat suci Al Quran, aku memohon kesembuhan beliau. Meski aku bukan anak kandungnya, aku merasa punya kedekatan emosional dengan beliau.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya,bapak malah lebih nurut sama aku dibanding sama anak-anaknya. Bapak sulit disuruh makan, minum obat dan minum air putih. Kami harus ekstra sabar jika mempertemukan bapak dengan tiga hal tersebut. Dan, perawat yang paling galak adalah aku.
Aku pun mulai mengatur kepulanganku menjenguk bapak di kampung. Step pertama, aku memesan tiket kereta api, step kedua perizinan kepada atasan, step ketiga menyelesaikan pekerjaan agar ketika masuk tak menumpuk. Jadilah, saya pulang agak terlambat untuk menyelesaikan pekerjaan. Kebetulan teman yang saya tebengin juga masih menyelesaikan pekerjaan dia yang lebih banyak. Aku menumpang sampai ragunan dan aku menyambung kendaraan menuju rumah mbakku di Cilangkap.
Sampai di rumah mbakku, gerbang terlihat digembok. Aku menelepon mbakku menanyakan bagaimana aku bisa masuk. Ternyata mbakku dan muthi sedang jambore, acara sekolah di Cibubur. Sementara masku, tahlilan. Aku disuruh telepon masku. Dan dia tidak menjawab, tetapi membalas dengan sms memberi tahu bahwa kunci ada di tempat persembunyian. Setelah berhasil menemukan kunci, aku masuk dan bersih-bersih badan. Masku pulang dan tak lama, dia mengajak menjemput ponakanku di Cibubur.
Ini kali pertama aku ke bumi perkemahan Cibubur. Jalan yang kami lewati menuju lokasi sangat gelap, banyak pohon, dan luas. Lahan ini memang sengaja dibangun untuk lokasi perkemahan. Hanya ada beberapa bangunan yang sepi. Di beberapa bagian ada beberapa yang berkemah. Tetapi jarak antar tempat lumayan jauh, sepi dan gelap. Begitu masuk bundaran, kumerasakan hawa tidak enak.
Aku berkata  “Mas, tahu kan jalannya, ini gelap banget, luas,sepi dan tidak terlihat rambu-rambu.”
“Ya, aku tahu koq ,sekarang mending wi ada lampu walau hanya beberapa, dulu sama sekali gelap.” , jawab masku
Aku tak kuasa menyembunyikan hawa atau perasan atau apalah istilahnya tidak enak, aku merasa hawa binatang banyak tetapi aku tak bisa melihat. Perasaan tidak nyaman akhirnya tak kuasa kusembunyikan.
“Mas,  kok hawanya mistis gini yah?” kataku.
“Ya dulu mbakmu jatuh di sini…” masku mulai bercerita bahwa dulu mbakku jatuh di sini, motornya nggosor keluar aspal. Mbakmu menghindari ular yang besar sebesar pahaku dan panjangnya memenuhi jalan ini.
Mendengar ceritanya, membuatku merinding. Kusuruh masku agar berhenti bercerita. Kumulai berdzikir, berdoa dan perasaan itu pun lambat-lambat hilang. Aku tak lama di perkemahan itu, kami pun pulang. Di perjalanan, kami membeli durian montong, karena muthi suka sekali buah durian. Malam ini aku pun tidur bersama muthi. 

Sabtu, 8 September 2012
Setelah subhuh, mbakku pun pulang dari bumi perkemahan. Aku mandi dan persiapan berangkat ke stasiun senen. Kami berangkat naik taksi dan sampai stasiun menukar tiket yang sudah dibeli dari Indomaret. Menunggu kakakku yang dari Cilincing.  Setelah menjalani proses cek disamakan, kami bertiga  masuk stasiun. Kereta sawunggaling datang terlambat. Setelah kereta datang, kami masuk, mencari tempat duduk. Kereta ini tak terlalu penuh. Kami bertiga masing-masing mendapatkan dua bangku, jadi kami bisa selonjor. Mbak yang di Cilincing meminjam bantal dan mereka mengatur posisi untuk tidur. Dan jadilah saya siaga untuk meladeni kondektur yang mengecek tiket karena kedua kakakku ini menyerahkan tiketnya kepadaku.hiks..
Karena bengong sendiri melihat pemandangan, ditambah sepoi-sepoi angin, jadilah aku mengikuti jejak kedua kakakku, molor. Kami sadar betul bahwa kalau sedang tidur, bentuk muka kadang tak terasa jadi kurang cantik. Mbakku yang cilincing, menutup mukanya dengan syal. Aku cukup menggunakan jaket untuk menutup muka. Dan ini dia mbakku yang cilangkap, dia paling lengkap. Memakai kacamata hitam untuk menutup matanya yang merem dan masker karena takut pas tidur melompong. Hehhehe
Mbak satu ini sering kusebut miss prepare. Dia orang yang pandai packing, kelihatan bawa sedikit dan tak ribet. Begitu dibuka bawaannya bak kantong doraemon, apa aja ada. Seperti contohnya, ketika di perjalanan aku laper dan  pengen makan pop mie. Ternyata dari tasnya yang tak terlalu besar keluar pop mie dan termos kecil cukup untuk 3 popmie. Jadilah kami makan pop mie.
Ternyata sebutan itu pun disepakati oleh teman-teman mbakku. Katanya mbakku itu peralatan lengkap, kayaknya barang-barang di rumah dibawa semua. Hehhe
***

Kereta terus melaju, stasiun demi stasiun kami lewati dan kami sepakat untuk turun di stasiun Gombong dan langsung ke rumah sakit Palang Biru. Sore hari sampailah kami di stasiun. Mbak Cilangkap mengeluh lapar dan dia kepengen soto atau rica2. Kami mencari tempat makan dan kami makan rica-rica. Keluar dari tempat makan, ada tukang ojek yang menawarkan jasa. Aku bertiga naik ojek, satu-satu menuju rumah sakit. Sampai rumah sakit, aku dan mbakku mulai bergantian merawat bapak. Mbak yang Cilincing memutuskan pulang karena kalau 4 orang menunggu bapak terlalu banyak. Akhirnya, orang yang menjaga bapak adalah ibu, mbakku dan aku. Mbakku sempat mandi di rumah sakit, kalau aku cukup bersih-bersih bagian tertentu, rasanya tak tega mandi di rumah sakit. Sore hari, aku membeli perlengkapan tempur. Teh botol, makanan dan buah lengkeng. Kami bertiga punya kesamaan, apapun yang terjadi kami tetap makan enak karena hidup terus berjalan. Jadi biar di rumah sakit, kami tetap makan alias ngemil. Menjelang malam, bapak tidur dan mbak dan ibu pun menyusul tidur. Mbak melarang aku tidur, nanti tidak ada yang jagain bapak. Untung  film di televisi agak  bagus walau aku dah hafal ceritanya, tetapi daripada bengong. Makin malam makin ngantuk, tadi di kereta, aku hanya tidur sebentar, malah yang lebih banyak tidur mbakku. Untuk menghilangkan rasa kantuk, aku membuka kulkas. Rupanya ada parcel buah, jadilah saya yang makan.hehhe.
Bapak terbangun, menanyakan jam, berkata ingin pub. Aku memapah bapak ke kamar mandi, menceboki  dan mengelap agar tak berengan (merah karena basah), memakaikan celana. Setelah itu, bapak memegang tanganku, ingin mengobrol. Kata bapak “kamu belum menikah, sudah harus merawat dan melihat barang laki-laki’. Mendengar kata-katanya, ingin tertawa, tetapi rasanya aku tidak merasakan apa-apa selain rasa bakti terhadap orang tua. Aku menjawab “Ih bapak jangan lebay deh alias berlebihan, santai aja pak.Itu kewajiban Pak”. Mungkin karena aku bukan anaknya sehingga tetap ada rasa sungkan di hatinya. Aku menawari makan roti, aku suapi karena sepertinya tangannya telalu lelah. Roti regal, roti kesukaan bapak, sederhana yah, begitulah orang tua di kampung keinginannya tidak macam-macam. Lelah duduk dan mengobrol bapak ingin tidur tetapi rasa gerah dan gatal membuat beliau tak bisa tidur. AC sudah kustel ulang, gerah sudah hilang, tetapi rasa gatal masih mengganggu. Bapak minta diusapkan bedak, aku usapkan bedak dan minta diusap bagian gatal. Bapak tampak gelisah, apalagi ,melihat kedua wanita disampingku bisa tidur. Mendekati pukul 12 malam bapak mulai gelisah, bapak memegang erat tanganku dan menangis kecil. Lelah begitu kata beliau. Aku mencoba membimbing bapak agar berdzikir. Bapak menyuruh ibu dan mbakku bangun untuk membacakan yasin.
Aku bangunkan kedua wanita dan menuruti permintaan bapak. Kebetulan aku dan ibu lumayan hafal surat yasin, sementara mbaku menyimak dan terus membimbing bapak. Lepas jam dua bapak mulai tenang dan bisa tidur. Ibu melaksanakan sholat tahajud, mbakku terjaga dan aku pamit tidur karena belum tidur dari sore.

Minggu, 9 September 2012
“Alhamdulillah, bapak masih diberi hidup wi” senyum terlukis di bibir bapak. “Iya pak” kataku. Setelah aku melakukan ritual pagi, aku menyeka badan bapak. Kulihat, gambaran keriput kulit bapak, ya bapak sudah tua, usianya kini sudah 73 tahun. Kuseka tangan bapak, tangan inilah yang dulu menggendongku ketika aku masih kecil, Kuseka telapak tangannya, tangan inilah yang mengajariku menulis dan membaca ketika aku masih usia 3,5 tahun. Usia dimana teman-teman sebayaku masih bermanja-manja, tetapi bapak dengan keras mengajariku sedini mungkin. Hasilnya prestasiku melesat selalu jadi juara kelas karena tidak bisa ditandingi. “terima kasih bapak” aku ucapkan begitu lirih sampai mungkin tak terdengar. Setelah bersih, ibu mengajariku memakaikan baju tanpa mengganggu infus. Ibu dan mbakku izin keluar membeli sarapan, aku menyuapi bapak dan menyuruh meminum obat. Bapak tiba-tiba bertanya “usiamu berapa wi?”. Aku terkaget karena topik sebelumnya kami tidak berbicara masalah itu. “kenapa pak?” jawabku.” Jika sudah mampu menikahlah, tidak usah menunggu mbak X”. “Ya pak” jawabku. Ya ada satu anak kandung bapak yang belum menikah. Dulu bapak juga mengizinkan masku melangkahi mbakku. Kata bapak,” menikah itu adalah salah satu perkara yang termasuk baik jika disegerakan, apalagi kalau sudah mampu”.
Bapak mulai mengantuk, dia minta tangannya diusap dan dinyanyikan lagu macapat, persis seperti ketika aku masih kecil. Bisa dibilang aku yang paling sering berinteraksi dengan bapak. Ya diantara anak-anak kandung bapak, aku yang paling kecil. Orang sering menyebutku ragil kuning (bungsu yang paling terang kulitnya). Aku bukan anak kandungnya, tetapi aku anak yang paling sering dimarahi dan paling disayang. Aku anak yang paling pembangkang, keras dan rock n roll. Heheheh. Kalau kata ibuku, aku nyentrik dan tak terduga. Dibanding anak-anak lain aku anak paling mudah menyerap warisan budaya Jawa yang bapak dan ibu ajarkan. Seperti lagu macapat. Mungkin kakak-kakakku tidak ada yang bisa nembang macapat. Kali ini aku mulai nembang  dari mijil sampai akhirnya pocung. Ketika tembang Pocung selesai kudendangkan. Kulihat bapak sudah tidur. Kembali aku menonton TV, tak berapa lama ibu dan mbak datang dengan sarapan.
Kata ibu, “Pinter kamu de, bapak dah tidur”.  Aku cuma senyum saja dan mulai menikmati sarapan pagi. Sekitar jam 9 an, mbakku yang Cilincing datang diantar masku. Pulangnya gantian aku sama masku.
Sampai di rumah aku disambut ponakan-ponakanku. Bersih-bersih badan, mampir ke makam Almarhum bapak dan Almarhumah ibu, orang tua kandungku. Dan berencana untuk tidur, merapel kantuk semalam. Tetapi masku, anak kedua bapak, datang untuk konsultasi tesis. Begitulah, masku sedang menempuh gelar S2 dan mulai membuat tesis. Aku memberikan pencerahan dan tak terasa sampai sore. Aneh juga yah, masku mau berguru pada adiknya yang dianggap paling bandel, nyentrik dan rock n roll. Padahal dulu masku ini yang keras melatihku jurus-jurus pencak silat.hehheh..gantian mas..
***
Mbakku yang Cilangkap memesan tiket untuk senin pagi tetapi sudah habis sehingga pesan untuk senin malam. Menjelang malam masku, anak bapak yang bungsu, melarang aku tidur di rumah sakit. Katanya mataku dah seperti mata panda jadi lebih baik tidur di rumah. Aku pun nurut. Jadi mbakku dan ibu yang di rumah sakit. Kedua masku dan mbak Cilincing menemani bapak sampai jam 11an dan tidak menginap.

Senin, 10 September 2012
Setelah ritual pagi dan sarapan, aku pergi ke rumah sakit, kembali merawat bapak. Bapak sudah meminta pulang dan merasa badannya sudah agak enakan. Kami menyuruh bapak untuk bersabar dan meminta izin kepada dokter. Kulihat kuku tangan bapak panjang-panjang, dan tara…pemotong kuku keluar dari kantong ajaib mbakku. Aku potong kuku bapak sambil mengobrol. Ternyata efek gatal di badan itu akibat dari obat yang disuntikan ke infus. Bapak mengeluh kupingnya gatal. Dan tara…cotton bud keluar dari kantong ajaib mba. Belum berhenti sampai di situ, ketika terlihat kancing baju ibu hampir lepas, rupanya di kantong ajaib mba juga tersedia benang dan jarum. Serentak kita tertawa. Gila lengkap banget tuh kantong. Begitu kulihat benar juga, isinya lengkap. Bahkan di rumah sakit saja mbakku membawa  tablet, kata mbakku ”buat ngecek email”. Aku godain ”wedew, dah kaya orang sibuk aja”. Perlengkapan make up pun lengkap dari kapas sampai pembalut..hihihi yang ini bukan make up. Katanya, takut sewaktu-waktu halangan. Uh…miss Prepare
Setelah dhuhur, dokter memeriksa dan mengizinkan bapak pulang. Langkah berikutnya, menanyakan perkiraan biaya dan menyiapkan uang. Bapak bertanya “uangnya sudah ada belum?” Aku jawab “sudah beres”. Eh si ibu malah menangis di depanku dan mengatakan “Maafkan ibu selalu merepotkan kamu terus”. Aku jawab “Ih ibu jangan lebay, biasa aja sih bu, ga usah mikir macem-macem, yang penting bapak sembuh”. Mbakku juga menimpali sambil senyum-senyum, “tenang aja bu, tiwi banyak duit koq”. Aku jawab sambil senyum “Amin”.
Step berikutnya mengantri untuk membayar. Dan antrian ini paling menyebalkan karena lama dan sistem di rumkit ini masih manual. Dalam hatiku “Wah ICTnya ga ada apa begimane sih, koq bikin begituan aja luama”. Potongan menggunakan askes lumayan banyak, misalnya untuk kamar. Bapak pensiunan golongan 4B,  yang harusnya dapat kamar katakanlah 200 rb tetapi karena yang ada di rumkit ini 150, maka dihitung free. Alhamdulillah.
Step berikutnya mengambil hasil rongsen, ambil sisa obat dan tindakan selanjutnya. Aku menanyakan diagnosis penyakit bapak ternyata ada tiga macam. Suster menerangkan dengan bahasa medis tetapi mudahnya (bagi orang awam) yaitu jantung koroner, hepatitis, dan melena (lambung). Jantung koroner karena pengaruh usia, ini yang membuat bapak sempat dua kali pingsan karena lemas. Hepatitis warisan dari penyakit terdahulu lever. Melena ini akibat serangan lambung makanya bapak sempat muntah darah. Info ini tidak didapat dari susternya tetapi aku baca di google. Kalau susternya bahasa penjelasannya kurang memuaskan. Aku membaca di internet bahwa makanan alami untuk penderita penyakit tersebut adalah kunyit, bayam dan wortel.
Step selanjutnya melepas infus, menyiapkan kendaraan pulang dan meminjam kursi dorong untuk membawa bapak dari kamar ke parkiran. Masku sudah siap mobil. Tetapi karena terlalu lama menunggu, menjelang magrib baru semua beres.  Bapak mulai gelisah karena takut aku dan mbakku ketinggalan kereta. Aku menenangkan bapak dengan berkata “Santai pak, gampang”. Eh bapak malah berkata “kamu dari dulu kalau dibilangin, penasaran ya kalau ga ngebantah, kan hari ini kamu dah izin jadi besok jangan izin lagi”. Aku jawab dengan tangan posisi hormat seperti taruni “Siap jenderal”. Bapak cuma geleng-geleng. Heheheh
Benar dugaaan bapak, sampai di rumah, semua serba terburu-buru. Aku mandi, sholat dan beres-beres bawaan. Aku tak sempat makan. Ibu membungkus dua makanan untuk aku n mbakku. Bulikku mengisi gelas tapeware untuk minum. Masku menyiapkan mobil mengantar ke stasiun. Itulah keluargaku super gotong royong. Jadilah kami tak ketinggalan kereta.
Sampai di tempat duduk kereta, mbakku yang kelaparan makan ditemani aku. Kami mengatur tempat duduk supaya berhadap-hadapan. Kami berharap satu orang dua bangku biar bisa selonjor tetapi harapan tinggalah harapan. Di stasiun gombong ada dua laki-laki naik dan mengisi bangku depan kami.hiks
 Kedua mas tersebut mengamati kejanggalan hadap bangku yang ia tempati dibanding kursi lain. Jelas kami mengetahui karena kami yang  mengubahnya. Hehhe. Tapi kami cuek makan sambil cengar-cengir dalam hati, menikmati kepolosan kedua mas-mas dihadapan kami. Eh tak lama ada bapak-bapak yang melihat kegelisahan mas-mas dihadapanku dan membantu mengatur bangku menghadap yang sebenarnya. Terdengar mas-mas tertawa mungkin sadar dengan keluguan eh kedodolan mereka. Hahhaha…iseng
Kami pun tak kehilangan akal, di stasiun berikutnya saya membeli Koran dan menggelar Koran di kolong kursi. Setelah berunding, jadilah saya tidur di kolong bawah kursi dengan fasilitas bantal dan selimut sarung yang kubawa dari rumah. 

Selasa, 11 September 2012
Tak terasa kereta mendekati stasiun Cikampek. Mendekati Jatinegara, kami mempersiapkan untuk turun. Kami berencana naik taksi ke Cilangkap tetapi apa daya, taksi langganan tak ada. Taksi yang ada kurang prefer. Jadilah kami naik turun angkot sampai rumah mbak. Setelah numpang sholat subhuh dan mengambil kunci rumah. Perjalanan belum selesai, aku ke meneruskan ke pondok cabe. Sampai rumah jam 7 membeli sarapan, tak sempat tidur dan langsung masuk kantor. Aku membawa bekal segelas kopi pengobat rasa kantuk. Alhamdulillah, mungkin berkat doa keluarga, aku tidak sakit dan tidak marah-marah. Mengingat zaman dulu kalau kurang tidur beberapa hari maka biasanya akan sakit dan mudah marah. Alhamdulillah tidak ada juga yang memancing marah, jadi ya tidak marah. Rasa syukur yang senantiasa terurai dari diriku atas nikmat kesehatan untukku dan keluarga yang kucintai. Semoga Allah melindungi keluarga kami, menjauhkan dari hal-hal yang buruk dan kekhawatiran yang telah kami lalui.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

IELTS

Tes Bahasa Hingga Akademik

Review Kantong Asi Untuk Si Ade Zio