Bawang Merah dan Bawang Putih (Opera van Pondok Cabe)



Aku tidak tahu cerita awalnya, hingga pada akhirnya ada senior yang menawariku bermain operet ala opera van pondok cabe dalam rangka mengisi acara puncak dies natalis kantor kami. Peran yang ditawarkan sebagai seorang nenek. Ini peran pertamaku sebagai nenek. Ah...benar-benar menantang. Ini memang bukan penampilan perdana dariku, dulu aku pernah menjadi benda mati, anak-anak, gadis centil, mahasiswi, hantu dan terakhir sebagai tokoh”kata” dengan naskah surealis. Karena profesiku sebagai pendidik, aku lebih aktif di belakang layar mendampingi taruni-taruna yang menjalankan program ini. 
Nenek

Lain dulu, lain sekarang. Berbekal kemampuan dan pengalaman yang dulu, membuatku sedikit menghilangkan rasa minder. Meskipun aku sadar betul bahwa latihanlah yang membuat sempurna tidak hanya pengalaman. Latihan kali ini tidak seberat latihan-latihan sebelumnya, tidak ada latihan pernafasan, olah raga/fisik, ekspresi, dan detail gerakan secara khusus. Kalaupun ada lebih pada diselip-selipkan ketika latihan. Itu bisa dipahami karena waktu kami yang terbatas. Selain menyelesaikan tupoksi kami, kami harus membaginya untuk latihan drama.
Latihan pertama diawali dari reading, kemudian tanpa teks, peran dan penguasaan watak. Setelah berhasil menguasai reading. Aku mulai mengamati, bagaimana cara nenek berbicara. Awalnya, suaraku masih suara orang pada umumnya…secara aku belum jadi nenek. Lagipula memang kurasakan sutradara tidak terlalu menuntut untuk menjadi nenek. Berbeda dengan sutradara dahulu yang superdisiplin dan tegas mengarahkan. Lagi-lagi tiap orang punya karakter. Beruntung kami kedatangan dua rekan dari IKJ mbak I dan mas B. Dua orang itu sangat berjasa kepada kami dalam rangka penguasaan watak, sehingga seolah watak itu merasuk pada jiwa kami, mengalir melewati darah dan nadi kami sewaktu di atas panggung.
Aku pun menemukan karakter nenek dengan suara yang parau, gigi yang penuh dengan ompong, wajah keriput dan agak penyakitan tua. Ah…betapa jelek diriku. Tapi biarlah, aku memang menyukai peran ini, aku tidak suka eksis. Biarlah orang merasa terhibur ketika aku di panggung tanpa tahu latar belakangku/profilku. Menurutku, actor/aktris atau pengarang akan dianggap mati ketika karya itu ditampilkan/dilahirkan. Sehingga aku paling tidak nyaman ketika aku harus menafsirkan karanganku sendiri…Kalau kita telah menghasilkan karya, artinya kita harus rela orang lain menafsirkan. Bukankah kita juga tak bisa menggiring opini umum sesuai dengan opini yang kita harapkan. Jika ternyata opini yang tercipta ternyata tak sesuai dengan harapan, ciptakan lagi sebuah karya sehingga kita sebagai creator tak berpuas diri berhenti berkarya.
Bawang putih dan nenek


Percakapan dengan bawang putih


Nenek Curhat

Memberikan baju merah yg dicari Bawang Putih

labu sebagai hadiah

Berjoget Bersama




mengambil labu

Dengan berperan sebagai nenek, ternyata berhasil sesuai opini, tak semua orang mengenal diriku, kecuali orang-orang yang memang akrab dengan wajahku. Setelah melewati tahap-tahap latihan, GR yang sampai malam dan melelahkan, sampai pada penampilan kami. Alhamdulillah semua berjalan sukses. Banyak pujian mengalir. Sebagian orang tidak menyangka bahwa itu aku karena di kantor aku bukanlah pribadi yang pemberani, malah cenderung pendiam dan pemalu. semoga hal itu tidak menjadikan kami sombong justru sebagai pelecut untuk berkarya lagi.

*thanks to semua pihak yang mendukung operet ini menjadi berhasil

Pondok Cabe, September 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IELTS

Tes Bahasa Hingga Akademik

Review Kantong Asi Untuk Si Ade Zio