Banyak Cara Mendekat padaNya


Roda bulan kembar ini bernama mooti, dia sudah menemaniku sejak aku SMA. Hujan panas, susah senang kita lalui bersama. Sore itu, bakda asar, moti mengantarkan aku pada panti asuhan Al Munasharoh. Panti Asuhan itu tak jauh dari rumah tempat tinggalku sekarang. Aku mengikuti arah panah berwarna hijau. Kuparkirkan mooti di halaman rumah. Seorang laki-laki tengah memperbaiki mobil.
“Assalamu alaikum wr. wb” aku mengucap salam.
Laki-laki itu menjawab salam dan menghentikan pekerjaannya. Dia mempersilakan aku masuk ke rumah dan memanggilkan ibu yang lebih tua. Ketika aku pertama melihat ibu itu, dalam benakku menebak. Ibu ini etnis Betawi. Setelah bersalaman,mendengar beliau berkata, aku semakin yakin atas dugaanku. Di Jakarta ini, aku bertemu banyak etnis, membuatku secara tidak langsung mengidentifikasi. Ibu itu bernama Siti  Hanini. Aku mengutarakan maksud kedatanganku, dan ibu Siti menerima dengan senang hati. Aku tak terlalu banyak bicara, menyampaikan seperlunya. Bu Siti berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan tempat tinggalku. Setelah menjawab, dia menanyakan apakah banjir. Hehe, barangkali perumahan tempat tinggalku tersohor karena menjadi langganan banjir. “Alhamdulillah tempat tinggal saya tidak banjir bu” begitu jawabku.  Kami pun tersenyum, tidak lama kami pun terdiam. Bu Siti memecahkan suasana keheningan dengan bercerita mengenai panti ini, panti ini ada dua tempat. Selain anak-anak  yang tinggal di panti, ibu juga menyantuni anak-anak yang di luar panti.
Melihat cara bicara dan pilihan kata yang digunakan bu Siti, aku menaksir pendidikannya bukan sarjana. Sehingga aku tak terlalu pusing memilih diksi untuk beretorika. Tanpa disadari Bu Siti, aku sebenarnya menanyakan tentang prosedur untuk mengangkat anak. Ternyata prosedurnya agak jelimet setidaknya untuk posisiku saat ini. Ibu menjelaskan bahwa pasutri harus setidaknya menikah selama 5 tahun dan belum dikaruniai keturunan. Secara tersirat aku menanyakan apakah single boleh atau tidak? Dan ternyata jawabannya tidak. Ah mengapa tidak, aku terus menerus mencari alasan mengapa tidak. Belakangan baru kuketahui, dengan alasan menghindari fitnah, takut orang mengira punya anak tapi tidak ada bapaknya, dan bukankah dalam mendidik dan tumbuh kembang anak idealnya memang diperlukan figur ayah dan ibu. Benar juga yah.
Ibu mengajakku melihat anak-anak tetapi secara tersirat aku menolaknya dengan alasan hari sudah sore. Selain itu, aku takut tambah mupeng lihat anak2.hiks hiks…kasih tak sampai. Aku pun berpamitan.
Lega,begitulah perasaanku. Berawal dengan niat baik semoga bermanfaat untuk sesama. Ada banyak pilihan untuk berbuat baik dalam hal ini sedekah. Mbak kandungku lebih suka rutin memberikan hidangan berbuka untuk panti asuhan di Kalasan. Kakakku di Jakarta lebih suka memberikan uang yang diamplopin satu2 dibagi per anak. Kakakku di Cilangkap lebih suka memborong peralatan tulis dan membuat parcel kemudian diberikan satu per satu ke anak2. Klo masku lebih suka memberikan uang sepanjang jalan kepada pengamen, pengemis, dll setelah gajian. Kalau keluarga di desa lebih memilih menyumbang sesuatu untuk masjid, membuat tajilan, memberikan tanahnya untuk jalan atau ikut membangun fasilitas umum di desa. Masing2 disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan mempunyai alasan tersendiri.
***

Ketika kemarin ke Jogja, aku sempatkan mengunjungi “KOMPITA”di kalasan. Komunitas Pintar (KOMPITA) yang sejatinya adalah panti asuhan. Aku disambut oleh tante Dwi. Aku sudah sangat akrab dengan beliau. Dulu ketika aku kuliah, aku mengajar tambahan pelajaran di Panti ini. Alhamdulillah, kemajuan panti ini sangat pesat. Ada banyak anak yang bergabung di rumah belajar. Jauh berbeda dengan dulu. Dulu, sekolah PAUD masih rintisan, sekarang sudah banyak muridnya. Dulu anak2 diberi pelajaran ketrampilan membuat telur asin. Sekarang anak2 sudah pandai membuat berbagai kerajinan tangan. Usaha telur asin yang dulu hanya dikerjakan beberapa orang, sekarang makin banyak pekerjanya. Produk-produk Az-Zahra, nama usaha untuk pendanaan panti ini, mulai dikenal. Anak-anak SD sudah mulai mandiri dengan usahanya. Dari awal aku memang optimis dengan kompita. Anak2 diberi pengertian akan mental tidak hanya meminta tapi mencari. Meskipun sebagian orang menganggap mereka kurang beruntung karena tidak mempunyai orang tua lengkap, mereka bisa terus hidup.
Tante Dwi yang meskipun belum diizinkan oleh Allah untuk mempunyai anak dari rahimnya, mampu bahagia dengan banyak anak sekarang. Aku banyak belajar bersyukur dari beliau. Ada kata-kata Om, suami tante yang masih kuingat, “Mbak, jarang2 lho mbak, anak yatim piatu bisa lulus S2, apalagi kalau orang tuanya tidak meninggalkan warisan. Lha saya yang bukan yatim piatu aja belum S2, hahaha”. Begitulah gurauan om begitu mengena, “Apa lagi yang kau ingkarkan akan kekuasaan Allah”, pikirku. Aku adalah orang yang beruntung masih diizinkan untuk hidup, bersekolah hingga lulus, mendapatkan pekerjaan yang diidamkan orang, bahkan ada orang yang rela menggunakan cara keji untuk mendapatkannya.
Melihat dengan mata kepala sendiri, begitu perjuangan teman2 guru yang menginginkan status 3 huruf besar itu dengan pemberkasan. Dan ketika melihat tumbukan berkas yang lebih tinggi dari bantal itu demi pundi-pundi uang yang tak seberapa. Begitu sedih, hati ini. Mereka bahkan menggunakan bor untuk melubangi berkas kertas setinggi itu,. Paperhold (pembolong kertas) tak lagi berguna. Mereka harus mengumpulkan SK mengajar secara berturut-turut selama dia mengajar selama minimal 5 tahun. Busyet, nunggu tuir dulu dungs, begitu aku membayangkan. Padahal jalur pemberkasan tidak rutin dibuka tiap tahun, waktunya tidak jelas, kadang 5 tahun tidak pasti.
Kadang ada keheranan mengapa orang-orang begitu “memburu” status 3 huruf itu. Padahal pundi uang yang dihasilkan tidak seberapa. Tapi barangkali status itu sangat cocok untuk perempuan karena tidak sesibuk2nya pekerjaan itu tidak akan melebihi pekerja swasta. Itu sesuai dengan peran ibu yang mendidik dan merawat anak dan melayani suami.hehehe. Alhamdulillahnya, ibu kandungku dan aku mendapatkan status itu dengan tes tidak dengan pemberkasan.
Bahkan aku dulu pernah kenal dengan seorang laki2 yang ibunya menyuruhnya untuk mencari pasangan dari kalangan berstatus itu. Hehhehe. Bagusnya keluargaku egaliter, menantu budhe (yang kupanggil ibu) malah ga ada yang dari kalangan itu, hanya satu, itu pun didapat setelah menikah. Kakak iparku, suami kakak kandungku dari kalangan BU**, bukan 3 huruf itu.
Begitulah cara Allah terhadap makhluknya, tante dwi berhasil meyakinkanku bahwa kehilangan kedua orang tua adalah yang terbaik untukku. Andai orang tuaku masih hidup, belum tentu aku seperti sekarang, malah bisa jadi aku masih seperti dulu, aku yang manja, yang segala kebutuhan dipenuhi oleh ayah, tidak pernah kekurangan apapun, dan selalu berada pada zona nyaman. Itulah cara Allah mendidikku untuk keluar dari zona nyaman, merasakan bagaimana kelaparan yang sangat karena 2 hari hanya minum air putih, berpanas-panas ria berjualan  dan mengajar demi tetap hidup dan kuliah. Hari yang berat, dan Alhamdulillah semuanya bisa kulalui. Ya Allah, semoga aku tetap istiqomah di jalanMu.

Pondok Cabe, Awal April 2012


Komentar

Postingan populer dari blog ini

IELTS

Tes Bahasa Hingga Akademik

Review Kantong Asi Untuk Si Ade Zio